Archive

Author Archive

Israiliyat dan Hadits-hadits Maudhu’ dalam Buku-buku Tafsir

March 25, 2012 Leave a comment

Israiliyat dan Hadits-hadits Maudhu’ dalam Buku-buku Tafsir

oleh: ust. Asrizal Musthofa Lc.

MukadimahImage

  1. Sebagian orang anti dengan buku-buku tafsir yang didalamnya terdapat israiliyat dan hadits-hadits palsu. Mereka mengangap bahwa hal itu adalah ancaman bagi islam. Karena itu mereka berusaha menghalangi manusia dari menelaah buku-buku tersebut. Bahkan ada sebagian orang yang bermaksud melenyapkan keberadaan buku-buku tersebut dari peredaran, demi menjaga kemurnian islam.

Akan tetapi pandangan seperti ini adalah suatu hal yang berlebihan. Karena dalam buku-buku tersebut menyimpan banyak ilmu-ilmu yang bermanfaat dan juga pengetahuan keislaman yang bisa diambil. Hal-hal yang baik dalam buku-buku tersebut lebih banyak daripada yang buruk. Apakah dibenarkan dengan alasan untuk menghilangkan yang buruk justru kita menghilangkan banyak kebaikan?! Sedangkan terdapat banyak ulama yang bisa memisahkan antara yang sahih dan yang dha’if.

  1. Sebagian mereka berinisiatif memisahkan israiliyat dan hadits-hadits palsu dari buku-buku tafsir,  mengumpulkannya menjadi satu buku untuk kemudian dijauhkan dari peredaran orang-orang awam. Kemudian menyebarluaskan buku-buku yang sudah bersih dari israiliyat dan hadits-hadits palsu. Pendapat kedua ini tidak terlalu berlebihan. Akan tetapi mungkinkah hal ini dilakukan?!

Dan juga, meskipun israiliyat dan hadits palsu tersebut tidak memiliki nilai dalam syariat agama kita jika dinisbatkan kepada Nabi Saw maupun sahabat karena hal tersebut tidak murni ajaran islam, tetapi dimata sebagian pengkaji mempunyai nilai ilmiyah. Karena israiliyat tersebut dapat menceritakan pengetahuan suatu kaum pada suatu masa.

  1. Sebagian yang lain menginginkan israiliyat dan hadits palsu tetap ada dalam buku-buku tafsir. Namun dengan memberikan catatan bahwa itu adalah ‘dakhil’ dalam islam, serta memberikan bantahan secara ilmiah supaya manusia selamat dari sisi negatif riwayat-riwayat tersebut.

Definisi Israiliyat dan Hadits Maudhu’

  1. A.     Israiliyat

Israiliyat adalah kata bentuk jamak dari kata Israiliyah yang merupakan

isim yang  di-nisbat-kan kepada “Israil”, berasal dari bahasa Ibrani yang artinya

“Hamba Tuhan”. Dan yang dimaksud dengan Israil dalam konteks ini adalah Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim As.[1]

Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil bahwa Ya’qub adalah Israil melalui hadits riwayat Abu Dawud Al-Tayalisi dari Abdullah ibn Abbas ra. yang menyatakan: “Sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu beliau

bertanya kepada mereka : “Tahukah kalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya’qub As.?” Mereka menjawab: “Benar”. Kemudian Nabi berkata: “Wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini!”.[2]

Secara terminologis, Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak. Dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang di bawa orang-orang Yahudi.[3]
Para ahli tafsir dan hadits juga beberapa cendikiawan muslim lainnya menggunakan istilah tersebut  dalam arti yang beragam.

Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah memaparkan Israiliyat sebagai berikut : “Cerita, dongeng, khurafat, yang dibuat oleh sumber Yahudi untuk

menimbulkan keraguan terhadap ajaran Islam dan memalingkan manusia

dari ajarannya”.[4]

Husain Al-Zahabi mengemukakan masalah ini dalam dua pengertian :

1. Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadits, yang asal periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi, Nasrani, atau yang lain.

2. Sebagian ahli tafsir dan hadits memperluas lagi pengertian Israiliyat ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja diselundupkan  oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.[5]

Adapun Dr. Ahmad Khalil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

Israiliyat itu ialah kisah-kisah dan riwayat-riwayat dari ahli kitab, baik yang ada

hubungannya dengan ajaran-ajaran agama mereka maupun yang tidak ada

hubungannya. Ringkasnya, kisah-kisah itu diriwayatkan dari jalan mereka.[6]

Menurut Amin Al-Khuli, kisah-kisah Israiliyat itu merupakan pembauran

dari berbagai agama dan kepercayaan yang merembes masuk ke jazirah Arabia

Islam karena memang sebagian kisah-kisah itu dibawa oleh orang-orang Yahudi

yang sudah sejak dahulu kala berkelana ke arah timur  menuju Babilonia dan

sekitarnya serta ke arah barat menuju Mesir. Setelah kembali ke negeri asal,

mereka membawa pulang bermacam-macam berita keagamaan yang dijumpai di negeri-negeri yang mereka singgahi.[7]

Bahkan sebagian Ulama Tafsir dan hadis telah memperluas makna israiliyat menjadi cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang datang dari Yahudi maupun dari sumber-sumber lainnya. Hal demikian itu lalu dimasukkan kedalam tafsir dan hadis, walaupun cerita itu bukan cerita lama dan memang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang sengaja akan merusak akidah kaum Muslimin. Dan ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Al Quran terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.

Para sahabat menaruh perhatian khusus terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan. Mereka tidak menerima begitu saja segala apa yang diterangkan oleh ahli kitab. Mereka teliti terlebih dahulu kebenarannya sebatas kemampuan mereka. Dan apabila ternyata yang diberitakan itu salah, mereka tidak segan-segan menolaknya. Sesuai pesan Rasulullah Saw. dalam haditsnya:

ولا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم, وقولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا… (رواه البخاري)

“Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami…” (HR. Bukhari)

Dan dalam hadist lain Nabi memperingatkan para penyampai berita maupun kisah-kisah itu agar tidak menyimpang dalam menceritakannya.

بلغوا عنى ولو آية, وحدثوا عن بنى اسرائل ولا حرج, ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (أخرجه البخارى)

“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak di larang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka (HR. Bukhari).

Dua hadist tersebut tidak bertentangan karena yang pertama menyiratkan kemungkinan benar dan salahnya sebuah cerita, sedang hadist berikutnya menunjukkan kebolehan menerima cerita dari Bani israil, meskipun harus dengan aturan yang ‘sangat ketat’, diantaranya adalah kejelasan Sanadnya.

  1. A.     Hadits Maudhu’ (Palsu)

Secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Dalam bahasa arab kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain menggugurkan, mengada-ada, dan membuat-buat.

Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi mengatakan:

هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً.

“Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan”.[8]

Inti dari penjelasan Imam Nawawi di atas adalah hadits maudhu’ itu sebenarnya bukanlah hadits Nabi, tetapi dipalsukan sebagai hadits Nabi. Pemalsu hadits mengatakan bahwa apa yang diriwayatkannya adalah hadits Nabi, padahal sebenarnya bukan hadits. Isi hadits palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Hal itu dapat dimengerti bahwa sebagian dari tujuan pembuatan hadits maudhu’ adalah untuk kepentingan dakwah dan ajakan hidup yang zuhud. Walaupun demikian haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dengan penjelasan kepalsuannya.

Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)

Jika dilihat dari konteksnya, setidaknya ada dua bentuk hadits maudhu’:

  1. Perkataan itu berasal dari pemalsu, kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw., sahabat maupun tabiin.
  2. Pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian sahabat, tabiin, sufi, ahli hikmah, orang zuhud atau israiliyyat dan kemudian disandarkan kepada Nabi Saw.[9]

Contoh hadits maudhu’ yang diambil dari perkataan sahabat adalah:

أحب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما, وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوم ما[10]

Yang benar perkataan tersebut adalah milik Ali ra., dan bukan hadits Nabi Saw.

Tema israiliyat yang banyak dinisbatkan kepada Nabi, sahabat maupun tabiin adalah kisah awal mula penciptaan, kisah umat terdahulu, penciptaan alam semesta, kisah para nabi dan lain sebagainya.

Hukum Berdusta Atas Nama Nabi

Menurut jumhur ulama berdusta atas nabi merupakan dosa besar. Pelakunya tidak sampai kafir, kecuali ia melakukannya dan menghalalkan berdusta atas nabi. Bahkan imam Abu Muhammad Al Juwaini sangat keras dalam hal ini. Ia berkata: “Telah kufur siapa saja yang dengan sengaja berdusta atas nabi”.

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama orang lain. Maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdusta atas nama sahabat maupun tabiin masuk dalam kategori mendustakan nabi. Namun hukum berdusta atas nama sahabat dan tabiin tidak seperti berdusta atas nabi yang bisa sampai kufur.

Tidak masuk berdusta atas nabi, periwayatan hadist dengan makna. Sebagaimana ulama membolehkannya, dengan catatan ia paham betul dengan lafaz dan maksud hadits secara terperinci.

Hukum Periwayatan Israiliyat

Banyak dalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah yang melarang periwayatan israiliyat. Namun tidak sedikit pula dalil yang membolehkannya. Maka kita akan memilih jalan tengah diantara keduanya. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

Riwayat Israiliyat yang sesuai dengan syariat kita, boleh kita percayai dan boleh meriwayatkannya.  Riwayat yang menyelisihi syariat kita, kita tidak boleh mempercayai riwayat tersebut, dan haram meriwayatkannya kecuali dengan keterangan akan kebatilannya. Adapun riwayat yang kita tidak mengetahui kebenaran ataupun kebohongannya, kita tawaquf dengan tidak membenarkan ataupun mendustakannya. Dan boleh hukumnya untuk sekedar meriwayatkannya. Karena kebanyakan riwayat tersebut hanyalah kisah-kisah umat terdahulu dan tidak berkaitan dengan akidah.[11] Hal ini sesuai dengan pesan nabi Saw.: “Jangan kamu benarkankan ahli kitab itu dan jangan pula kamu dustakan mereka, dan katakana lah kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.(HR. Bukhari)

Pengaruh Kisah Israiliyat

Akibat negatif yang ditimbulkan oleh adanya riwayat-riwayat Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir, karena mengandung kebatilan, antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Riwayat-riwayat itu dapat merusak aqidah umat Islam sebagai contoh, riwayat yang dibawakan oleh Muqatil maupun Ibn Jarir tentang kisah Nabi Daud As. dengan isteri salah seorang panglimanya, demikian pula kisah Nabi Muhammad Saw. dengan Zainab binti Jahri. Kedua riwayat itu dapat memberikan gambaran yang keji terhadap pribadi-pribadi Nabi yang ma’shum dengan gambaran sebagai manusia yang didukung oleh hawa nafsu.
  2. Riwayat-riwayat tersebut dapat memberikan gambaran seakan-akan Islam itu agama khurafat, takhayul yang menyesatkan. Sebagai contoh antara lain ialah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi dari Ibn Abbas Ra. tentang arti kata Ra’dun: “Orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw. tentang ‘guruh’ : ‘Apakah sebenarnya guruh itu?’ Nabi menjawab, ‘Guruh itu adalah malaikat yang diberi tugas menjaga awan dengan membawa alat-alat pembakar dari api yang digunakannya untuk mengendalikan awan menurut kehendak Allah’. Kemudian mereka bertanya lagi, ‘Lalu suara yang kita dengar itu sebenarnya apa?’ Nabi menjawab, “Suara itu adalah bentakan malaikat tatkala membentak awan sehingga awan itu menurut kepada kehendak Allah’. Kemudian mereka berkata, ‘Engkau benar, wahai Muhammad”.[12]
  3. Riwayat-riwayat tersebut hampir dapat menghilangkan kepercayaan

terhadap sebagian ulama salaf, baik dari kalangan shahabat maupun

tabi’in seperti Abu Hurairah, Abdullah ibn Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan

Wahab ibn Munabbih  yang oleh sementara orientalis seperti Goldziher

dalam bukunya, Muzahaib Al-Tafsir Al-Islami, diisyukan sebagai

  • orang-orang yang sengaja diselundupkan ke dalam Islam oleh musuh-

musuhnya.[13]

Tuduhan serupa telah dilontarkan pula oleh beberapa penulis muslim seperti Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya, Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyah,  dan dengan cara terselubung oleh Dr. Ahmad Amin dalam  Fajr Al-Islam. Bahkan Al-Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengambil sikap yang jauh berbeda sebagaimana dikatakannya:  “Dan kebanyakan Israiliyat itu merupakan khurafat dan kepalsuan yang dibenarkan begitu saja oleh para perawi sampai pula oleh sebagian perawi dari kalangan shahabat”.[14]

  1.  Riwayat ini hampir menyita perhatian manusia dari mendalami maksud diturunkannya Al-Quran menuju kepada pembahasan sepele yang sedikit sekali faedahnya. Sebagai contoh antara lain tentang nama dan warna anjing Ashab   Al-Kahf dan nama-nama binatang yang diikutsertakan dalam bahtera Nabi Nuh As. Memang menurut Ibn Katsir, perincian hal tersebut tidak ada faedahnya untuk diketahui. Andaikata hal itu ada faedahnya, niscaya Al-Quran menyebutkannya.
  2. Riwayat-riwayat tersebut hampir menimbulkan sikap apriori terhadap hampir semua kitab tafsir di kalangan sebagian peminat ilmu tafsir karena, menurut persangkaan mereka, semua kitab itu berasal dari sumber yang sama.

Tokoh-Tokoh Israiliyat

Menurut Al-Qattan, kebanyakan riwayat yang disebut Israiliyat itu dihubungkan kepada empat nama yang terkenal yaitu, Abdulah Ibn Salam, Ka’b Al-Akhbar, Wahab Ibn Munabbih, dan Abd Al Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraij.[15] Berikut ini akan dikemukakan selintas tentang identitas keempat tokoh tersebut, terutama penilaian ahli hadis tentang ‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dan keabsahan riwayat mereka.

  1. Abdullah Bin Salam

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah.

Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[16] Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al-Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H.

Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad, ‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.

Dan segi ‘adalah-nya, kalangan ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari. Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut Adz-Dzahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa diterima.

  1. Ka’ab Al-Akhbar

Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar, karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam usia 140 tahun.

Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar, Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.

Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu, sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.

Adapun dan segi ‘adalah, tokoh ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Adz-Dzahabi tidak sependapat, malah menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Adz Dzahabi, tentu saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridha menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah beberapa hari sebelum terbunuh. Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab Al-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil dan tsiqah. Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.

  1. Wahab Bin Munabbih

Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.

Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah.

Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak dikemukakannya. Akan tetapi, Adz-Dzahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas muhadditsin, seperti disebut di atas. Di samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya. Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang kontroversial.

  1. Abd Al-Malik Ibn Abd Al-’Aziz Ibn Juraij

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid (Abu Al-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri, dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari seseorang, sehingga Adz-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu karya yang lemah.


[1] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah As-sunnah, 1426 H.

[2] Ahmad  Muhammad  Syakir,   Umdah Al-Tafsir ‘An Al-Hafidz Ibn Katsir, 1, Dar Ma’arif, Mesir, 1956

[3] Ibn Qayyim Al-Jauziyah: -Sukardi KD,Ed:, Belajar Mudah ‘Ulum Al Quran;277

[4] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.

[5] Husain Al-Zahabi,  Al-Israiliyat Fi Al-Tafsir Wa Al-Hadits, Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyah, Kairo, 1971

[6] Ahmad  Khalil,  Dirasat  Fi  Al-Qur’an,  Dar Maarif,  Mesir, h. 113

[7] Ahmad Al-Khuli, Manahij Al-Tajdid, Dar Ma’rifah, Cairo, 1961, h. 277

[8] Imam Nawawi, at-Taqrib, juz 1, hlm. 6.

[9] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.

[10] Imam Bukhari, Adab al Mufrad

[11] Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyat wa Al-maudhu’at fi kutub Tafsir, Maktabah  As-sunnah, 1426 H.

[12] Al-Qurthubi,   Al-Jami’ Li Ahkam  Al-Quran,   Dar  Al-Kitab Al-Arabi, Cairo, 1967, h. 217

[13] Ignaz Goldziher, Mazahaib Al-Tafsir Al-Islam,  alih  bahasa Abd. Halim Al-Najjar, Makatabah Al-Islami, Mesir, 1995, h. 87

[14] Al-Sayyid Muhammad Ridha, Tafsir Al-Manar, I, Dar Al-Manar, Cairo, 1373 H, h. 8

[15] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir: Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,1952), Jiid II, him. 310

[16] Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2, him. 355.

Categories: kajian sabi'

KEDUDUKAN SUNNAH DALAM MENENTUKAN HUKUM DALAM ISLAM

KEDUDUKAN SUNNAH DALAM MENENTUKAN HUKUM DALAM ISLAM

oleh: Ust. Muhammad Iqbal

               Sunnah adalah masdar ke-II dalam penetapan hokum islam setelah Al-qur’an Al-karim,dan telah disepakati bahwa sunnah adalah hujjah bagi orang-orang muslim serta ayat-ayat Al-qur’an Al-karim.

               Dan peran Rasulullah yg paling utama adalah menyampaikan wahyu dari Allah sesuai yg diterangkan dalam Al-qur’an, Kemudian kepentingan yg lain adalah, menjelaskan kepada umat hokum-hukum secara menyeluruh, Qs”annahl:44”

               Allah SWT telah menjadikan hati orang-orang mukmin tenang dalam mejadikan Rasulullah seorang yg menjalankan syari’at karena sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang tidak menyeru kecuali menyeru kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali melarang kepada keburukan,serta sesungguhnya beliau menghalalkan apa yang baik dan mengharamkan apa yang buruk, Qs”Al-a’roff:157”

HUBUNGAN SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN ALKARIM

               Sesungguhnya sunnah itu sangat berhubungan dengan Al-qur’an,maka sunnah itu telah menjadi penyambung atau pelengkap secaa keseluruhan, sebagaimana penjelasan tentang shalat, ”صلوا كما رأيتموني أصلي” sebagaimana dijelaskan tentang waktu,jumlah dan tata cara,dan sebagaimana menerangkan tata cara haji,”خذوا عني مناسككم”.

               Serta berperan menghususkan umumnya,dan dari hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-qur’an secara umum dalam hukum warisan, Qs”Annisaa’:11”, sunnah telah menghususkannya dengan menjelaskan bahwa seorang pembunuh tidak dapat warisan,dan seorang mukmin tidak mewarisi orang kafir dan sebaliknya.

               Serta berperan sebagai penjelas terhadap suatu masalah,seperti menjelaskan tentang pohon yg dimaksud dalam surat Ibrahim:24,sesungguhnya yang dimaksud pohon dalam ayat itu adalah pohon kurma, dan penjelasan terhadap تثبت dalam surat, Ibrahim:27, sesungguhnya maksud dari ayat tersebut adalah swaktu didalam kubur pada saat orang-orang mu’min ditanya.

               Juga berperan sebagai penjelas apa-apa yg masih samar,ketika para sahabat belum faham tentang الظلم dalam surat Al-an’aam:82,maka rasulullah menjelaskan tentang dholim tersebut kepada para sahabat ya’ni SYIRIK dengan dalil إن الشرك لظلم عظيم.

               Banyak pula hukum yang datang dari nabi,dan belum diterangkan hukum tersebut dalam Al-qur’an secara menyeluruh, terperinci, samar, umum,khusus atau mutlaq,seperti diharamkannya binatang yang berkuku, binatang bercakar dari golongan burung,pengharaman menikahi perempuan beserta saudara kandung atau sepupunya, serta dihalalkannya binatang kadal atau biawak dan kelinci, akan tetapi, apakah hukum ini baru atau sudah ada nashnya dalam Al-qur’an?.

Seperti yg telah d sebutkan dari judul buku tersebut,bahwasannya buku ini membahas tentang manhajul muhadditsin dari qarn awwal hingga masa kita sekarang,disini saya akan membahas manhaj para muhadditsin pada masa ke-2 hijriah yg dimulai pada tahun 217H-260H,dimana ada jeda antara tahun pertama dan tahun ke-2 -+ 2tahun lamanya,yg dimana pada masa pertama dimulai pada tahun 37H-215H,kemudian akan berlanjut pada tahun 261H-467H untuk masa ke-3 hingga jatuhnya hilafah abaasiyah.

Dalam pembahasan di Bab II ini akan diterangkan dalam 7 fashal.

FASHAL  I

  • PERKEMBANGAN TERAKHIR PADA MASA INI

Pada masa taabi’in dan taabiuttaabi’in keadaannya telah berubah dari masa para sahabat,dan telah memajukan atau mengembangkan beberapa hal,dan telah Nampak beberapa percampuran manhaj-manhaj yang lama serta yang baru,perbandingan serta dhowaabit yg smua itu akan membantu para muhaqqiqun,dalam meneliti hadits dengan menunjukkan beberapa illat (kekurangan) yg di nisbahkan kepada nabi secara dusta,dan itulah tujuan untuk menjaga sunnah dari kepalsuan,dan menjaga dari kesalahan dan pemalsuan.

RINGKASAN MENGENAI PERKEMBANGAN TERAKHIR

  1. Wafatnya para sahabat radhiyallahuanhum serta para taa’biin rahimahumullah,yang dimana mereka telah menjaga sunah rasulullah SAW.
  2.       Berkurangnya sanad serta mustahilnya untuk bertemu antara perawi hadits yang sanadnya tersambung hingga Nabi Muhammad SAW.
  3.       Munculnya para madzaahib fiqhiyah,dan oleh karena itu munculnya ikhtilaf diantara para imam dan mencoba untuk mencatat yang ada pada mereka tentang hadits, dan diskusi tentang perbedaan mereka,dan melahirkan dari semua peristiwa itu pergerakan yg besar dalam pencatatan sunnah serta berpartisipasinya para hanafi,syafi’iy dan sahabat maaliki raadhiyallahuanhum.
  4.       Banyaknya hadits yang palsu,dan banyaknya kesalahan didalam hadits dari kemampuan para rawi yg lemah imannya dan para ahlul bid’ah.
  5.       Belum di bukukukan atau dikumpulkannya sunnah secara menyeluruh pada masa yang pertama,karena takut akan bercampurnya antara sunnah dengan qur’an,dan pada masa taabi’in dan taabi’uttabi’in mereka banyak yg menghafal dan menulis,kemudian lenyaplah rasa takut tersebut demi kebaikan dan kebutuhan yg mendesak dlam pembukuan ini  krna takut akah terhapusnya serta hilangnya sunnah seiring dengan meninggalnya para hufadh.

FASHAL II

  • DIBUKUKANNYA SUNNAH SECARA SEMPURNA DALAM MASA INI (QARNU TSAANI), DAN MANHAJ ULAMA’ DALAM PENYUSUNANNYA.

Dengan sebab-sebab tampaknya perkembangan terakhir dan berbagai alasan, khalifah Umar bin abdul aziz memerintahkan untuk segera membukukan atau mengumpulkan sunnah secara sempurna agar bisa terkumpul menjadi Satu susunan agar bisa bermanfaat bagi orang-orang muslimin, dan pada saat pengumpulan sunnah pada masa sebelumnya yakni masa sahabat dan kibaru tabi’in belum sampai kederajat penyusunan dan pengarangan.

Telah diriwayatkan dari  Addarimiy  dengan sanad dari  Abdullah bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz menulis surat pada tahun 101H untuk ahlil madinah agar mereka melihat serta menulis hadits dari Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya aku takut akan dipelajari ilmu tapi akan pergi orang yg telah mempelajarinya, maksud dari surat tersebut adalah perintah Umar bin abdul aziz untuk para ahlul madinah untuk menulis hadits Rasulullah SAW karena beliau takut akan meninggalnya para orang-orang yg telah mempelajarinya tapi tidak ada peninggalanya.

Alhaafidz Ibnu hajar berkata:”ada banyak hal yg bisa diperoleh dari awal dimulainya pembukuan hadits annabawiy, karena mereka(para sahabat) pada masa sebelumnya hanya mengandalkan hafalan, maka Umar bin abdul aziz merasa takut, dan juga para orang-orang terdahulu yg telah meninggal, dengan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ahlul ilmi,dapat dilihat dari pembukuan tersebut mampu mengontrol serta menyelematkan sunnah.

Dan ta’at lah para ulama’ dalam perintah ini,dan mereka benar-benar memperhatikan seruan amirul mu’minin, mereka telah mengumpulkan hadits-hadits yang mulia, pada waktu itu Muhammad bin Syihab Azzuhriy (W,124H) adalah yang pertama kali membenarkan keinginan amirul mu’minin serta yg pertama kali menjawab seruan tersebut dan berkata, ”Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kami untuk mengumpulkan sunah-sunah maka kami telah menulisnya secara berbuku buku,dan kami menyebarkannya keseluruh penjuru dunia disetiap satu raja satu buku”, dan beliau Muhammad bin Syihab Azzuhriy berkata lagi, telah” Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kami untuk mengumpulkan sunah-sunah,dalam melaksanakan perintah ini kami telah menulis kitab dalam jumlah yang banyak,dan aku telah mengirimkan penggantian suatu hukum yg bertentangan dalam suatu Negara.

Dan telah diriwayatkan dari Anas bin maalik, ”Yang pertama kali mengumpulkan ilmu itu adalah Ibnu Syihab.”

Dan dari Abdul Aziz addaraaradi,”Yang pertama kali mengumpulkan ilmu serta menulisnya adalah Ibnu Syihab”.

Dan ditemukan disetiap kota orang yang memperhatikan pengumpulan hadits serta penyusunannya dalam sunnah.

Di makkah     : susunan sunnah oleh Abdul Maalik bin Abdul Aziz bin juraiykh (W,150H) dan sufyan bin ‘uyainah(W,198H)

Di madinah   : Maalik bin Anas(W,179H), Muhammad bin Ishaq(W,151H) dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abiy dzi’b

Di Basrah       : Arrabiy’ bin Shabiykh(W,160H), Sa’id bin Abi ‘aruwbah(W,156H) dan Hamaad bin Salamah(W,168H)

Di Yaman       :Mu’ammar bin raasyid(95-153H)               Di Syam:Abdurrahman alaura’iy(88-157H) Di kuuffah:Shuffyan attsauriy(W,161H)                     di Khurasan:Abdullah bin Mubarak(W,183H)               di Wasith:Hasyim bin Basyir(W,183H)         di Ray:Jarir bin Abdul Hamiyd(W,188H)               di Mesir:Abdullah bin Wahhab(125-179H).

Kemudian banyak kalangan dari masa mereka mengikuti dan mencontoh metode mereka.

Susunan yg paling bagus diantara mereka dari kumpulan-kumpulan hadits assyarif dan fatwa-fatwa shabat dan taabi’in, adalah kitab AlMuwattha’ milik Imam Maalik yang mencakup hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa sahabt dan taabi’in dan perbuatan para ahlul madinah, dan Imam Maalik sangat teliti dan memilih-milih mana yang pantas untuk di tulis dalam muwattha’nya dan tidak akan dijumpai didalamnya kecuali itu sahih,dan Imam malik menganjurkan untuk dirinya sendiri didalam almuwattha’ untuk hanya mengeluarkan riwayat-riwayat yang tsiqoh yang dimana haditsnya tidak akan dikeluarkan kecuali dalam keadaan hasan, namun selain Imam Malik, dari apa yang telah mereka susun pada masanya, belum menetapkan pada diri mereka untuk meneliti apa yg mereka susun.

FASHAL III

  • KESUNGGUHAN PARA TABI’IN DIDALAM PENCATATAN SUNNAH,PENJAGAANYA DAN PEMBUKUANYA PADA PERTENGAHAN MASA KE-II HIJRIAH.

Yang terdapat pada masa terakhir sayyidina utsman bin affan RA,penyelewengan perkara serta pergantian generasi,sebagaimana dinisbathkannya kepada islam sedikitnya dari para kaum lelaki yg lemah imannya dan mereka membolehkan untuk diri mereka sendiri berbohong atas rasulullah untuk membantu kebid’ahan mereka serta hawa nafsu mereka.

Dan dari para taabi’in wajib bagi mereka untuk menunjukkan hadits hadits serta penjelasannya,dan mengingatkan tentang hadits tersebut,serta member peringatan dari hadits tersebut.

MUNCULNYA KESUNGGUHAN  MEREKA DAN TAMPAKNYA PERHATIAN,KETELITIAN DAN KEHATI-HATIAN SEBAGAI BERIKUT.

  1. Perhatian mereka kepada pelajaran rijalul hadits dan ruwatul hadits,pengoreksian dan penjelasan didalam hadits dari ilmu jarh wa ta’dil, dan tidak diterima hadits kecuali dalam derajat ma’ruf,tsiqah dengan dalil-dalil,sebagaimana Imam Syafi’I berkata: ”sesungguhnya ibnu sayriyn, Ibrahim annakh’iy, thawus dan yang lainya dari para tabi’in tidak akan sekali-kali menerima hadits kecuali derajatnya tsiqah,diketahui rawinya serta hafidz orangnya, dan aku tidak pernah melihat seseorang dari ahli hadits menyelesihi madzhab ini.
  2. Perhatian kepada sanad serta keadaan rawinya,berkata Ibnu saiyrain: “belum pernah ada pertanyaan kepada sanad, maka jika terdapat fitnah didalamnya mereka berkata: “katakanlah kepada kami para rawi kalian”maka dilihatlah rawi tersebut,setelah mereka tau itu dari ahlussunah diambillah hadits tersebut, jika dari ahlul bid’ah maka tidak diambil hadits tersebut.
  3. Mendengarkan serta hafalan dan penetapan dalam riwayat.
  4.  Mengoreksi matan.

Dari perumpamaannya adalah,sesungguhnya Ibrahim annakh’iy pernah meninggalkan beberapa hadits, dengan alasan bahwa para sahabat meninggalkan hadits tersebut.

Categories: kajian sabi'

مناهج المحدّثين

مناهج المحدّثين

oleh: ust. saparudin

1. Pendahuluan
Pada pembahasan dulu kita telah membahas tentanng ekspresi sahabat, ihtimam terhadap hadist dan pembukuan hadist pada zaman kenabiyan, dan pembahasan kali ini kami akan membahas mengenai kitab yang rosul tulis untuk amru bin hazem, sebab-sebab pembkuan hadist pada abad pertama dan ekspresi kehati-2an sahabat dalam menerima hadist
2. pembahasan

Pembahasan I
Kitab yang rosululloh tulis untuk amru bin hazem
روى الحاكم و اليعقى وغيرهما من طريق ابن اسحاق, وحبيب بن حبيب, عن عمرو بن هرم ان ابا الرجال محمد بن عبد الرحمان الانصارى حدثه ان عمر بن عبد العزيز حين اٌستخلف ارسل الى المدينة يلتمس عهد النبى وسره فى الصدقات بمثل كتاب النبي الى عمر بن حزم, فامر عمر بن عبد العزيز عماله على الصدقات ان ياخذوا بما فى ذينك الكتابين, فمان فيهما صدقة الابل ما زاديت على التسعين واحدة ففيها حقتان الى عشرين وماءة, فاذا كانت الابل اكثر من ذالك عليس فيها ما لا تبلغ العشرة منها شيء حتى تبلغ العشرة

Pembahasan II
Penopanng-2 (pendorong /sebab-sebab) penulisan hadist pada abad pertama hijriyah
Mungkin disitu terdapat pembahasan tentang beberapa sebab pengelasan pengumpulan hadist asyarip dan pembukuannya .
Diantaranya karena :
1. Sebab agama dan syariat
Sesungguhnya sunah itu mencakup pada hokum-hukum fiqih dan kaidah syari’ah, dan tentulah memerlukan untk di gabungkan dan pembukuan, untuk menjaga ketakutan, perobahan atau lupa, khususnya hadist2 yag panjang seperti hadist zakat, sodakoh dan hadis2 tentang humum diyat dsb.
2. semangat untuk membukuan perilaku kehidupan rosululloh
setiap apa yang terdapat dalam kehidupannya dari penjabaran amalan2 di dalam rumahnya, mesjid, pasar dan didalam peperangan. itu untuk mengikuti dalam perbuatannya, pekerjaannya dan sebagainya
3. Pembukuan (penggabungan ) sunnah dalam risalah-2
Di antaranya kepada raja2 dan pemerintah2 yang bukan muslim (non muslim) untuk mengajak kepada agama islam dan menerangkan pentingnya tanda2 islam
4. Pembukuan (penggabungan) sunnah pada korespondensi (surat menyurat)
Diantaranya kepada pemimpin tentara dan pemimpin sugur pekerja muslim yang beraneka warna atau ras dan selainnya.
diantara korespondensi2 yang mencakp kepada sebagian hadist baik antara sahabat atau tabi’in antaralain……………………….
كتب معاوية بن ابي سفيان للمغيرة بن شعبة يطلب منه بعض الاحاديث, واستجاب المغيرة لطلب معاوية وارسل له بعض الاحاديث بالبريد
وارسل ابو موسى الاشعرى الى عبد الله بن مسعود
و ارسل جرير بن عبد الله الى معاوية بن ابو سفيا
و ارسل سلمان الفارسى ال ابى درداء
و ارسل عمر بن الخطاب الى ابى عبيدة بن الجراح
و ارسل زيد بن ارقم الى انس بن مالك
5. Pembukuan untuk menjaga dari kemusnahan
menjaganya dari perobahan, dan itu kembali lagai pada sahabat yang sohih (tanzih) dari kesalahan dan perobahan, dan para tabiin dan yang mengikuti mereka. Dan dari para sahabat yag menjaga sunnah yang mempnyai mushaf dan kitab2 yang telah di di sebutkan dahulu
6. Pembkuan karena lemahnya hapalan (penjagaan)
Itu karna untk memungkinkan (mengahadirkan) dari penjagaan hadist rosul sebagaimana yang bersumber darinya dan agar menghadirkan dari rujukan kepadanya, setiap kali para sahabat menginginkan untk menetapan hapalan ( penjagaan) dan menjauhi kesalahan. Misalnya dalam penulisan”اكتبوا لابى شاة” dengan perintah dari nabi saw
7. Pembukuan bertujuan untuk pertolongan khusus
Sebagian para sahabat menyukai agar mereka menjadi bagian dari yang membukukan dalam pembukua hadist rosul saw
8. Korespondensi (surat menyurat) khusus bagi nabi saw
Telah di jaga sebagian sunnah2 melalui surat menyurat resmi bagi nabi, diantaranya hadish tentang kesepakatan, perjanjian dan ikatan2
9. Pembukuan pinggira/sanawi (kedua/tidak penting) dari sisi perminta’an haidist
Dan itu terdapat pada halaqoh2 ilmu yang diadakan oleh para sahabat khusus. Misalny:
ابي بن كعب (ت 22 ه) , عبد الله بن مسعود(ت 32 ه) وعيادة بن الصامت (ت 34ه) dan lain-lain.

Pembahasan III
Indikasi-indikasi (ekspresi) kehati-hatian para sahabat dalam menerima hadist as-syarip
Sebagaimana para sahabat mereka berhati2 di dalam berhadist, mereka juga berhati2 dan menetapkan di dalam penerimaan hadist dari rosululloh saw, takut terjadi kesalahan. adapun dari ekspresi-2, nya diantaranya,,,,,
menyaksikan kepada orang yang mendengar langsng
Azzahabi berkata: bahwasanya abu bakar adalah orang yang pertamakali yang berhati2 dalam menerima hadist
Tasaddud (keteguhan/kerja keras) dalam menjaga (menghapal) dan melaksanakan
Karena takut ada satu dari para sahabat mendengar hadist atau menghapalnya pada satu segi (sisi/kehidupan)dia tidak layak maka salah dalam mengerjakannya, atau berbohong terhadap rosululloh meskipun itu terbkti tidak disengaja (dimaksud), mereka menyedikitkan riwayat mereka dari rosululloh
Bertasaddud berserta yang lain yang menyampaikan dari mereka tentang hadist roslulloh
Seperti yang telah dijelaskan oleh baro bin a’ziib ra: “tdak setiap hadist kita mendengar dari rosullloh,akan tetapi para sahabat kami yang member kita hadist dan kita sibuk dalam memelihara onta, dan sahabat rosululloh mereka mencari(meminta) apa yang lewat kepada mereka pendengarannya dari rosululloh dan mereka mendengarkannya dari orang-orang yang melihatnya dan dari orang yang lebih hapal dari mereka, dan mereka berteguh kepada orang yang medengar langsung dari rosululloh”
Dan dari tanda tasaddud ini para sahabat meminta perjanjian (sumpah) kepada rowi
Para sahabat meminta sumpah kepada rowi dari roslllloh bagaimanapun itu adalah kedudukannya dari rosululloh dan di dalam islam
Dan begitu juga sebagian para sahabat bersemangat untuk tidak mengambil hadist yang munqoti (terputus) yang belum pernah di dengar nqilannya dari rosul kecuali apabila telah di terangkan isnadnya yang mausul (sampai) kepada rosululluh
Dan dari tanda-tandaya kehati-hatian “tawaqup” dalam menerima hadis dan menyodorkannya kepada al quran
Contohnya: inkarnya saidah aisyah terhadap hadist umar, “ان الميت يعذب ببكاء اهله عليه” umar berpaham terhadap hadist ini sesngghnya hadist ini umum dan ta’zib itu dengan sebab nangisnya keluarga terhadap mayit , maka sayidah aisah mengingkarinya, akan tetapi sabda nabi tersebt fii yahudi sesungguhnya mayit akan di siksa dan mereka menangisi terhadapnya,
Di antara madzohir (indikasi/ekspresi) kehati-2 diperlihatkannya sunnah kepada sunnah
Misalnya hadist dari aisah “”من حدثكم ان الرسول الله كان يبول قاءما فلا تصدقوه, ما كان يبول الا قاءما
Di antara madzohir (indikasi/ekspresi) kehati-2 diperlihatkannya hadist kepada qiyas
Msalnya: hadist dari abu hurairo“الوضوء مما مست النار ولو من ثور اقط”
Dan dari wasilah ini juga diperlihatkannya hadist kepada perkatan sohabah
Dan kapan bisa terbukti jika hadist itu mukholif bagi fatwa para sahabat itu mennjukan bahwasanya rosul belum/tidak mengatakannya atu itu di mansukh.
Dan dari tanda mazohir (indikasi/ekspresi) kehati -2an dalam menerima hadist
Jika para sahabat menemukan kitab dan mereka tidak berbincang di dalamnya kecuali jika mereka menguatkan dari pendengaran dan pembancaannya kepada sahabatnya, misalnya : sahabat umar membenci menyampaikan hadist dari kitab-2 dengan tida mendengar atau membaca, dia berkata “اذا وجدوا احدكم كنابا فيه علم لم يسمعه من عالم فليدع باناء وماء فلينقعه فيه حتى يختلط سواده مع بياضه”

wallahua’lam.

Categories: kajian sabi'

Tarih madzahib fiqih islam

April 30, 2011 Leave a comment

بِسْمِ الْلَّه الرَّحْمَنِ الْرَّحِيم

Tarih madzahib fiqih islam

 oleh: ust. mukhlish

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده رسوله.

 

                 Mashodir hukum islam yaitu : Al quran, hadist, ijma’, qiyas….

Rasul segalanya Di masa hidupnya, para sahabat selalu merujuk kepada beliau dalam menyikapi problematika hidup baik dari hal kecil sampai masalah daulah, dari hal bersesuci dari kotoran sampai hal perdamaian. Semua itu tidak berhenti sampe sekarang yg mana umat muhammadiyah akan merujuk di masa rasul dan para sahabatnya,   yg di sebut dengan “khairul kurun” seperti dalam hadist yg tidak asing  bagi kita.

                Sepeninggal rasullullah banyak para sahabat yg tersebar di amshor (kota – kota) أمصار semuanya mengajarkan islam kepada penduduk kota/daerah masing-masing seperti ibnu umar di medinah, ibnu masud di kuffah, ibnu abas di mekkah, abdullah bin amru ibn as di mesir.

              Para sahabat mengajarkan islam dengan gamabran islam kaffah (dalam artian tidak ada ifrat dan taffrid, dengan bukti semua masyarakatnya tidak ada yg mengkultuskan masing2 individu sahabat yg mengajarakan islam di setiap daerah. Hal ini terjadi sampai adanya fitnah perang jamal dan sifin yg dimotori kaum munafiqin dan ada yg menyebut orang luar islam (yahudi).

               Dari fitnah itu muncullah kelompok atau golongan seperti khawarij, syi’ah, murji’ah, dan qadariyah. Seiring dengan semakin luasnya penyebaran islam di masa itu semakin banyak pula penduduk dan masyarakat yg menganut agama islam atau meninggalkan ajaran nenek moyangnya dan memeluk islam.

               Menjadikan kebutuhan masyarakat akan pengetahuan islam meningkat sehingga perminta’an para da’i juga bertambah untuk mengajarkan islam ke masyarakat sementara kemampuan dari para dai’ tidak semuanya sama terutama dalam mengambil istimbat hukum dari hadist, dan pengetahuan tentang hadist tidak sama, maak munculah di masa itu ulama’ mujtahid, di samping banyaknya muhadist.

Dalam artian tidak semua muhadist piyawai dalam istimbat hukum seperti para mujtahid. Tetapi tidak sebaliknya. Contohnya imam syafi’i beliau terkenal sebagai imamnya ahli fiqih, akan tetapi dia juga  terkenal sebagai imamnya ahli lughah(bahasa) begitu juga beliau terkenal sebagai imamnya ahli hadist, misalnya juag imamm ahmad bin hambal beliau lebih terkenal sebagai muhadis atau imamnya ahli hadist sapa abat ke empat hijriyah, karena ijtihad2 dari beliau sedikit dari pada para imam yg lain.

           Hikmah dari munculnya  golongan/kelompok itu banyak para sahabat yg iqamatul khujjah kepada para pengikut 4golongan ini. Demi menghadapinya dan memeranginya, salah satu upayanya dengan tadwinul sunnah, demi menjaga dari pemahaman pemeluknya dari campur aduk dengan ajaran yg lain. dari situ berkembang sampai fuqaha’ mujtahid membuat qawaid2 dasar2 istimbat hukum Di waktu itu dalam pengambilan suatu istimbat hukum dari sebuah hadist. Seperti imam abu hanifah annu’man (80-150) di kuffah(bagdad),  imam maliq (93-179) di medinah, imam syafi’i (150-204) di mesir, imam ahmad bin hambal (164-241) di bagdad, semua para imam ini mempunyai niat yg sama dan tujuan yg sama akan tetapi jalan yg berbeda

           Dan bahkan saling bertemu dan belajar satu sama alin seperti Imam ahmad bin hambal pernah bertemu imam syafi’i di bagdad.

Imam syafi’i pernah belajar kepada imam malik di medinah dan imam abi hanifah pernah ketemu juga dengan imam malik. Ini yg paling mashur di dunia karena banyak dari murid2 beliau yg mengembangkan dari madhab dan menjadi mujtahid madhab, dan ini sebagaian madhab sunah yg lain dalam artian ada madhab lain yg di kenal dengan madhab syi’ah,

di antaranya:

  1. Laits bin sa’ad atau imam laist mesir (92-175) .
  2. Dawud bin ali ad dhahiri lahir di bagdad, hidup di kuffah (202-270)
  3.  Abdurahman bin amru al auza’i meninggal 257 H madhabnya banyak tersebar di syam dan andalus sampai tahun 302 H sebelum tergeser dengan madhab syafi’i.
  4. Tsafwan Atsauri lahir di kuffah th (65-161) madhabnya berkembang sampai abad ke 4 H mendapat laqab (gelar) amirul mukminin dalam Hadist.
  5. Hasan Al basri (meninggal 110 H)
  6.  Amir bin syarkhabil Assya’bi. Meninggal 105 pernah menjabat sebagai qadhi di khalifah umar bin abdul aziz.

                Ini sebagian yg bisa di sebut, dan bahkan ulama’ ada yg benyebut ada 50 madzahib fiqih akan tetapi sampe sekarang sudah tidak ada bekas dan murid nya yg banyak mengembangkan.

Sebab-sebab berkembangnya madzahib yg banyak di kenal dan sebab-sebab tidak berkembangnya madzahib yg kurang di kenal.

                Seiring berkembangnya islam banyak dari para pemeluknya yg memperdalam pengetahuanya terntang agama yg di peluk atau di yakininya selain itu banyak yg mengembangkanya dari disiplin ilmu ke yg lainya, contohnya dulu di zaman sahabat hanya di kenal sebagai perawi hadist atau muhadist atau ahli hadist terus di kempabangkan, ada mujtahid sebagai syarat menjadi qadhi di zaman khalifah, artinya seorang qadhi harus pandai berijtihat dalam istimbat hukum. Terus perkembangan zaman tidak menutup juga muncul adanya orang2 munafiq dan yg lainya maka munculah ilmu rijal…  dan seterusnya.

Faktor-faktor yg mempengaruhi dalam perkembangan sebuah madzhab.

         1.     Kekuasaan atau  sulthan. Penguasa berpengaruh besar dalam perkembangan dan tersebarnya sebuah madzhab itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa setiap khalifah selalu menunjuk seorang qadhi atau hakim untuk memutuskan sebuah permasalahan yg ada di daerah kekuasaan sang khalifah itu. Dan biasanya qadhi yg di tunjuk dari khalifah itu dari madzhab yg dianut atau sesuai madzhab yg di anut sang khalifah itu sendiri, Sehingga para masyarakat akan tertuntut untuk mempelajari madzhab itu. Contoh di zaman khalifah abasiyah  tepatnya khalifah Harun arrasid semua qadhi yg ada di daerah kekuasaanya meliputu iraq mesir dan syam dan sebagian afrika, sementara di waktu atau masa  yg sama di andalus banyak berkembang madzhab malikiyah. Contoh yg lain di saat Salahuddin al ayubimenguasai mesir, Salahuddin mengganti seluruhnya dengan madzhab syafi’iyah padahal waktu itu mesir di kuasai daulah fatimiyah sebelum datangnya salahuddin. Dan masih banyak lagi permisalan.

        2.    Faktor yg lain yg mempengaruhi perkembangan madzhab ialah faktor “talamidz” atau murid-murid. Pesatnya suatu madzhab tidak lepas dari pengaruh para murid yg cerdas dalam mengembangkan dan memperjuangkan sebuah pemikiran atau hasil ijtihad dan istimbat maupun perkataan atau pendapat sang imam.

        3.    Pembukuan atau pencatatan. Biasanya para pengikut sebuah madzhab selalu mencatatkan pendapat dan perkataan yg berhubungan dengan madzhab yg dianut  terutama sebuah pendapat atau pemikiran yg menguatkan dan mendukung terhadap madzhabnya.

Faktor-faktor penyebab munculnya perbedaan madzhab.

               Di bawah ini sebab2 adanya perbedaan pendapat diantara para mujtahid. Yg banyak di sinyalir kenapa ada atau muncul madzahib terutama madzhabib Al arba’ah..?? sementara semua ajaran bersumber dari rasullah alaihissalam.

Berikut sebabsebabnya:

01.   Fartor pertama : adanya perbeda’an qira’ah dalah mushaf, sebagai mana kita pernah baca “innal qurana unzila ala sabah ahruf..”  yg bisa menyebabkan perbedaan dalam istimbat sebuah hukum misalnya dalam sebuah ayat “ wainkuntum mardha au ala syafarin au jaa ahadum minkum minal dhait au lamastumunnisa falam tajidu ma’an fatayammamu…” mahal syahid nya kalimat لمستم  ada perbedaan cara membacanya diantara imam qura’ , bacaan hamzah dan qisa’i di bacaلمستم  tanpa huruf alif setelah huruf lam sementara yg lainnya caramembacanya “”لامستم memakai tambahan huruf alif setelah huruf lam. Sementara yg membaca tanpa alif mengartikanya memegang dengan tangan, klo bacanya dengan alif mengartikanya jima’ atau bersetubuh.

02.   Faktor yg kedua : tidak menguasai hadist secara keseluruhan. Para sahabat di masa rasul tidak semuanya sama dalam meriwayatkan hadist dalam artian ada sahabat yg mengetahui sebuah hadist tapi ada juga yg tidak mengetahui sama sekali. (hadist : perbuatan, perkataan, ketetapan rasullullah alaihissalam). Misalnya suatu saat sahabat Abu bakar “radhiyallah” di tanya tentang bagian warisan seorang nenek dapat berapa jawab Abu bakar sidiq “radhiyallah” itu tidak terdapat dalam Al quran dan assunah. Sementara sahabat yg lain zaid bin sabit “ radhiyallah” meriwayatkan bahwa rasullullah alaissalam memberikan bagianya 1/6.

03.   Faktor ketiga:  adanya keraguan dalam hadist yg di riwayatkan misalnya hadist yg di pakai madzhab hanafiyah di

dhaifkan  malikiyah  dalam artian hadist yg di pakai masih meragukan menurut malikiyah mungkin hadistnya maudhu’ atau rijalnya ada cacatnya dan sebagainya.

04.   Faktor ke empat : adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan nas al quran.

05.   Adanya persamaan lafat akan tetapi arti dan makna berbeda. Baik itu bentuknya isim atau fi’il misalnya lafat “قضي”   bisa diartikan hukum atau perintah contoh lain kalimat “عسعس”  bisa di artikan terbit atau tenggelam.

06.   Adanya dalil yg bertentangan cotohnya : imam syafi’i , imam malik dan imam ahmad berpendapat tidak syah orang yg berihram melaksanakan akad nikah dan mengajukan khitbah. Sementara Imam Abu hanifah “radhiyallah”  membolehkan dengan dalil hadist yg di riwayatkan ibnu Abas “radhiyallah” bahwa nabi Sallahualaihissalam menikahi Maimunah dalam keadaan ber ihram.

Sebuah ringkasan perjalan dan perkembangan madzhahib dalam islam atau lebih sempitnya madzahib fiqiyah sunniyah karena selain ini ada lagi ulama’ yg membagi atau menyebut fiqih syi’ah, tentang fiqih syi’ah mungkin  di lain kesempatan bisa kita kaji secara sekilas di lain kesempatan. Adapun dampak dari adanya atau munculnya berbagai madzahib ada beberapa dampak, baik dampak bagi umat islam sendiri maupun di luar islam.  

Ref..

01.   Nahdarat fii tarih madzhab fiqih fil islam  pengarang Abu uwaist muhammad bin amin.

02.   Madhahib fiqiyah sunniyah.

03.   Raful malam an aimah anglam.. ibn Taimiyah.

Categories: kajian sabi'

MARS NOSR

April 21, 2011 Leave a comment

Marhalah NOSR

Marhalah NOSR-ku Beraksi…

Walau Panas Terik Matahari…

Seribu Kali NOSR-ku Beraksi…

Bagiku Itu Langkah Pasti…

Hari-Hari Esok Adalah Milik Kita…

NOSR-ku Jadi Juara Dunia…

Kobarkan Semangat Jangan Pernah Menyerah…

Yang Pasti Kita Juara…

Marilah Kawan, Mari Kita Nyanyikan…

Sebuah Lagu, Untuk Kemenangan…

Yo..Ayo…Ayo NOSR-ku Hari Ini Kita Harus Menang 3x.

 

Salam Satu Jiwa

NOSR MANIA…

SALAM SATU JIWA…

DIMANA-MANA…

KAN SLALU ADA…

SLALU BERSAMA…

TUK KEMENANGAN…

NOSR MANIA…

 

Marhalah Kebanggaan

OOO…OOO…OOO…3X

Aku bangga dengan marhalahku

Kemana-mana akan selalu bersatu

Ayo.. Ayo.. satukan tekadmu

Demi untuk meraih kemenanganmu

Reff:

NOSRku-NOSRku aku disini untukmu

NOSRku-NOSRku kalahkan lawan-lawanmu

NOSR MANIA

Satukan tekadmu kobarkan semangatmu

NOSR mania slalu mendukungmu

Reff:    kami ini NOSR mania

Namamu slalu di dada

Dimanapun berada kami slalu ada

Karna kami NOSR mania

Yo…ayo kita NOSR mania…

Yo…ayo pasukanku berlaga…

Bersatu kita teguh

Bercerai kita runtuh

NOSRku harus maju

Bunuh saja lawanmu

Back to reff//

Categories: Iseng...

Catatan Facebook Ageng Wigunantoro

April 13, 2011 Leave a comment

Penamaan suatu tempat sering kali berkaian dengan kejadian atau peristiwa yg melekat pada tempat tersebut, atau bisa juga krn kedekatan geografis dengan suatu wilayah. Seperti dinamakan laut jawa krn posisinya berada di utara pulau jawa, samudra hindia krn posisinya berada di selatan India, laut mati karena minim makhluk hidup akibat tingginya kadar garam di laut tersebut. Beberapa waktu lalu ketika mengantar rombongan kelilinga kota Jeddah ada yg bertanya “mas, kenapa lautnya dinamakan laut merah?” sontak saya baru berfikir, iya yah.. kenapa dinamakan laut merah, padahal airnya juga ga merah, saya cm pernah dengar ada laut hitam dinamakan begitu krn konon ketika jengis khan menguasai kota baghdad mereka membuang banyak buku karya ulama islam waktu itu ke laut hingga tintanya yg hitam mencemari lautan, lalu bagaimana dengan laut merah. kalo saja saya minat sotoy tentu mudah saja mengarang cerita entah tentang merahnya krn dulu ada pembantaian hingga darahnya membanjiri laut, atau dulu banyak orang nyirih meludah ke laut 😀 . Ah, mending bilang wah ga tau pak, nanti saya cari di google hihihi..

tu kan, ga merah 🙂

Dan ternyata nama luat merah mengdopsi dr bahasa yunani erythra thalassa, orang arab dahulu menamaninya bahrul qulzum, sedangkan bangsa eropa dahulu menyebutnya dengan laut arab, di sebut laut merah mungkin krn di situ banyak tumbuhan laut yg berwarna kemerahan bernama (arep copas disik, angel nulise) erythraeum Trichodesmium atau juga menurut sebagian ahli sebutan merah menunjukan arah selatan sebagaimana hitam menunjuk arah utara (sebagian orang asia menamai arah dengan warna).

Laut merah yang membentang

melintasi yaman, somalia, saudi arabia, sudan hingga mesir menyimpan sejarah     terkenal dunia mulai ditenggelamkanya fir’aun hingga pembuatan terusan suez dan konflik arab-israel, salah satu kota terkenal di sepanjang laut merah adalah kota jeddah, kota terbesar ke dua saudi arabia ini menjadi salah satu daya tarik laut merah, gerbang udara dan laut bagi sebagian besar jamaah haji yg menuju kota mekkah. Keindahan laut merah dipadu dengan tatanan kota modern bisa kita nikmati ketika menikmati corniche jeddah ( corniche : jalan tepian batas gunung ataupun pantai), karena letak laut berada di barat kota maka pemandangan yg menarik tentu saja ketika matahari tenggelam atau sunset..

 

cahya tembaga semburat di barat, kala mentari jelang praduanya

 

Kemudian tak jauh dari cornice tepat di perempatan jalan malik fahd menjulang tinggi replika sepeda kayuh, inilah yg biasa disebut oleh jamaah ( bahkan ada yg meyakini ) sebagai sepeda bapak moyang kita Adam alaihissalam.

onthel lawan land cruiser FJx

tak lengkap rasanya jika pulang ke tanah air belum membawa cerita pernah melihat sepeda nabi adam, inilah tradisi turun temurun jamaah haji semenjak dahulu. Lalu apakah benar itu adalah sepeda nabi adam, krn mungkin postur nabi adam cocok pas dengan ukuran sepeda teresebut?bahkan ada teman yg terkagum sampai nyeletuk “masyaAllah nabi adam gede banget, trus ibunya segede apa ya” wkwk

pagi di bundaran sepeda “nabi adam”

Tentu saja ini mengada-ada sepeda baru dibuat manusia pada era abad ke-18 dikembangkan oleh orang jerman bernama Baron Karls Drais von Sauerbron, jangankan nabi adam, orang arab sendiri bercerita jaman dahulu mereka tidak mengenal sepeda yg ada hanya unta, kuda dan keledai, itupun barang yg mahal bagi sebagian mereka.

 

siluet tukang tambal ban

Lalu dari mana asal mula keberadaan sepeda tersebut, ada kabar yg menyebutkan ini hadiah dr gubernur DKI dulu bapak Ali Sadikin, tentu saja ini kabar hoax yg menyebar ga jelas asal usulnya. Ketika mencoba gogling ternyata cukup sulit mencari referensi yg lengkap tentang sepeda ini, meskipun sudah coba dengan bahasa arab. Ketika numpang baca di toko buka, eh ternyata nemu tulisan tentang sepeda ini.. umur sepda ini sudah lebih dr 30 tahun, sengaja dibikin untuk menghiasi jalan ataupun bundaran kota jeddah, karena negara saudi arabia melarang bentuk makhluk hidup sebagai hiasan maka dipilihlah bentuk sepeda ini ( dan masih banyak bentuk lain di berbagai lokasi ), hebatnya sepeda ini dibuat dr sisa bangunan pabrik marmer pertama saudi arabia yg telah dibongkar. Dan di tempat lain kita bisa juga menemukan replika globe bumi, kapal pesiar, kapal terbang dsb. Meskipun sudah tau ini bangunan biasa, tetapi tak rugi jika anda menyempatkan lewat “sepeda nabi adam”.

Categories: Iseng...

Peran Muslimah Dalam kancah Jihad

April 11, 2011 Leave a comment

Peran Muslimah dalam kancah Jihad

 

Hanin Mazaya

Kamis, 17 Maret 2011 06:00:10

Hits: 314

 

“Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia itu mukmin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikit pun”[1]

 

Sesungguhnya peran muslimah dalam kancah jihad, sangatlah banyak dan terbuka lebar. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan jelas, yang mana tidak mungkin terhapus oleh zaman selamanya. Sejarah telah mencatatnya, sedangkan sejarah itu akan terus berulang meski tokoh dan tempatnya berganti.

 

Dalam hadis shohih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari Ruba’i binti Muawwidz radliyallahu ‘anha, beliau berkata, “Kami berperang bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kami memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan terbunuh ke Madinah”.[2]

 

Sungguh tak dapat dipungkiri, keberanian seorang mujahid di lapangan maka ada seorang wanita ‘di belakang’nya. Jika ada seorang mujahid yang gagah berani, maka lihatlah siapa ibunya, atau lihatlah siapa istrinya, sungguh kan kita temui muslimah-muslimah yang tangguh di dalamnya. Muslimah ini memberi motivasi pada ayah, suami, saudara laki-laki dan anak-anak laki-lakinya agar pergi berjihad, menunjukkan pembelaan kepada dienullah dan pengorbanan diri untuk Allah.

 

Ia memotivasi dengan memberikan semangat untuk mereka, memotivasi dengan menyumbangkan harta untuk mereka dalam rangka jihad fie sabilillah, memotivasi dengan tidak mengeluh saat ditinggal, memotivasi dengan tetap sabar atas kepergian mereka dan ujian yang menimpa mereka. Sungguh, inilah tugas muslimah dalam kancah jihad baik dari dulu maupun sekarang.

 

Akan tetapi kita lihat pada masa sekarang, tak sedikit muslimah yang masih ragu untuk ikut serta dalam kancah jihad ini. Tak sedikit kita melihat, mereka masih menahan suami dan anak laki-laki mereka untuk ikut serta dalam jihad fie sabilillah. Merasa tak sanggup ditinggal. Apa yang meragukanmu duhai ukhity? Apakah kita kehilangan teladan yang mampu memberikan contoh? Demi Allah, keteladanan itu banyak ya Ukhtiy, jika kita mau mencari serta meneladani mereka.

 

Saya ingatkan untuk diri saya dan antunna sekalian akan kisah-kisah kepahlawanan shohabiyah yang beriman, berhijrah dan berjihad fie sabilillah dalam tulisan ini, juga kisah kepahlawanan muslimah dalam medan jihad di zaman kita sekarang. Dengannya, bi idznillah, semoga dapat memotivasi kita untuk bisa seperti mereka dan menjadikan hati kita tergerak untuk ikut andil bagian pada pembelaan terhadap dien Allah dalam peperangan sengit yang dilancarkan salibis dan zionis ini.

Adapun peran yang dapat kita lakukan dalam kancah jihad ini, di antaranya adalah;

 

1. Memotivasi ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita untuk jihad fie sabilillah dan bersabar atas ujian yang menimpa kita.

Adalah kewajiban kita—wahai ukhtiy muslimah—untuk senantiasa memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam jihad ini, di mana jihad telah menjadi fardhu ‘ain dalam kondisi saat ini[3]. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…kobarkanlah (semangat) orang-orang beriman (untuk berperang)…”[4]. Dan, “Wahai Nabi! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang…”[5]

 

Sebagai anak, kita harus memotivasi ayah kita dan saudara laki-laki kita untuk turut serta dalam jihad fie sabilillah ini. Dan sebagai seorang istri juga seorang ibu, sudah selayaknyalah kita memotivasi suami dan anak laki-laki kita untuk turut andil dalam perjuangan fie sabilillah, untuk turut ambil bagian dalam pengorbanan di jalan Allah. Dan sungguh, telah banyak dari orang-orang sebelum kita yang telah menjadi contoh dalam pengorbanan ini…

 

Lihatlah bagaimana seorang Khadijah binti Khuwailidy radliyallahu ‘anha senantiasa memotivasi suaminya—Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sang panglima perang—dalam mendakwahkan dan menyebarkan Islam. Ketabahan beliau radhliyallahu ‘anha dalam mendampingi suaminya di jalan tauhid wal jihad, baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sempit maupun lapang, adalah teladan yang sangat mengagumkan. Beliau dengan mantap menghibur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan yang akan terus dikenang sejarah, “Demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakan Anda selamanya. Sesungguhnya Anda menyambung hubungan kerabat, jujur dalam berbicara, menanggung letih dan menolong yang tertimpa musibah”.

 

Dan teladan itu pun telah ada pada diri Al Khansa’—ibu para syuhada’—radliyallahu ‘anha, yang sedikit pun tak ragu memotivasi keempat anak laki-lakinya agar ikut berperang dan agar tidak lari dari medan perang. Tidak ragu untuk menjadikan anak-anaknya bagian dari kafilah mujahideen sekaligus kafilah syuhada’. Beliau radliyallahu ‘anha merupakan cermin pengorbanan seorang ibu, teladan bagi para ibu sepanjang zaman. Duhai, betapa mulianya shohabiyah ini dan pengorbanannya untuk dien Islam…

 

Maka, ketika kabar kesyahidan anaknya sampai kepada ibu yang beriman dan bersabar ini, ia sama sekali tak meratap juga tak menunjukkan sikap sedih. Tahukah apa yang ia katakan?

“Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Saya mengharap pahala dari Rabb-ku. Semoga Ia mengumpulkan saya bersama mereka di tempat yang penuh kasih sayangNya (jannah)”. Perkataan yang didasari keimanan yang tangguh, yang akan terus diingat oleh sejarah sebagai sebuah pengorbanan di jalan Allah.

Subhanallah!! Beginilah seharusnya seorang ibu, dengan senang hati menyerahkan buah hatinya di jalan Allah, berharap pahala dariNya dan jannahNya. Maka, ukhtiy fillah…tidakkah hati kita tergerak untuk meneladani para shohabiyah ini?

Kita pun tak melupakan kisah shohibatus syakkal, seorag ibu yang memberikan sebuah ikalan rambut miliknya kepada Abu Qudamah Asy Syama’ rahimahullah, yang ia harapkan dapat ikut serta dalam jihad dan berdebu fie sabilillah bersamanya. Tak lupa, ia pun memotivasi anak laki-lakinya untuk turut serta dalam peperangan bersama Abu Qudama Asy Syama. Dan tahukah ukhtiy, apa yang beliau ucapkan saat Abu Qudamah hendak memberitahukan berita kesyahidan anaknya?

“Jikalau anakku pulang bersamamu dalam keadaan selamat, maka itu kabar menyedihkan bagiku. Dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti anda membawa kabar gembira”. Subhanallah…!! Kalimat yang mantap yang berasal dari keimanan yang dalam dan keyakinan yang kuat akan janji Allah.

 

Dan ketika diberitahukan bahwa anaknya terbunuh fie sabilillah, maka beliau pun menjawab, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan besok pada hari kiamat”. Inilah buah keimanan yang manis, dan bukti kejujuran keimananya. Sungguh, ukhtiy fillah, banyak teladan yang bisa kita jadikan contoh dalam meniti jalan jihad ini…

 

Dan di zaman kita ini, teladan itu terlampau banyak…kalau kita mau mencari dan meneladani mereka. Ummat ini tidaklah mandul untuk melahirkan sosok-sosok khansa’ dan yang semisalnya. Di sana, ada ummu islambuly rahimahallah yang tak sedih ketika buah hatinya dieksekusi pemerintah thaghut Mesir karena aksi jihadnya dalam ‘mengeksekusi’ thaghut Anwar Sadat. Ia justru bergembira dan menyajikan hidangan, sesaat setelah eksekusi anaknya dilangsungkan, dan ia berkata, “Hari ini saya merayakan pernikahan anak saya dengan hurun ‘iin”. Subhanallah…begitu tegarnya beliau.

 

Di sana masih ada sosok ummu Muhammad (istri asy syahid—kama nahsabuhu wa huwa hasibuhu —‘Abdullah ‘azzam rahimahullah), di mana beliau begitu sabar ditinggal suaminya berjihad bertahun-tahun. Bersabar akan kesempitan hidup yang dialaminya di jalan tauhid dan jihad. Beliau adalah seorang yang zuhud lagi sabar, sebagaimana yang dikatakan oleh suaminya, syaikh Abdullah Azzam rahimahullah. Beliau memberikan keteladan yang besar bagi kita—para muslimah—dalam kesabaran dan ketegaran, ketika suami dan kedua anaknya syahid di Peshawar, Pakistan. Alangkah sabarnya engkau wahai ummu Muhammad…

 

Masih ada pula di zaman kita ini, sosok seorang istri dan ibu yang menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana yang diceritakan oleh syaikh abu mujahid dalam tulisannya (Realita Jihad)[6], ketika suami dan anaknya syahid—insyaAllah—dalam peperangan di Afghanistan, ia tidaklah bersedih karena itu, akan tetapi ia berkata, “Sungguh kesedihankau karena tidak dapat memberikan bantuan makanan kalian itu lebih aku rasakana, dari pada kesedihanku karena kehilangan anak kesayangan hatiku…”. Allahu akbar!!

 

Andai bukan karena ada sesuatu yang saya khawatirkan, tentulah saya akan ceritakan bagaimana kesabaran dan ketegaran para istri mujahid dan syuhada’ di negeri kita ini, yang saya ketahui. Karena—menurut saya—mereka layak untuk dijaidkan contoh bagi kita, agar kita senantiasa termotivasi.

 

Maka, wahai cucu-cucu Khansa’, inilah teladan yang mulia untuk kita, adakah teladan yang lebih baik selain mereka?

Tidakkah hati kita tergerak untuk memotivasi ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita untuk berjihad?

Tidak tergerakkah kita untuk menjadi generasi Khansa’ abad ini?

 

Sungguh demi Allah, adalah kebahagiaan sejati bagi kita apabila kita dapat ikut andil dalam kancah jihad ini. Adalah kebahagiaan yang sempurna bagi kita di dunia ini, apabila Allah takdirkan kita sebagai anak dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau saudara dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau istri dari seorang mujahid lagi syuhada’ atau ibu dari seorang mujahid lagi syuhada’. Demi Allah, itulah kemuliaan di dunia ini…

 

Sesungguhnya, mereka (ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita) suatu saat akan meninggal juga, cepat atau lambat, baik kita menginginkannya atau pun tidak. Dan kehidupan di dunia ini hanyalah kehidupan yang semu, sedangkan kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang sebenarnya. Lalu mengapa tidak kita semangati mereka untuk turut serta dalam jihad fie sabilillah? Agar di jannahlah—insyaAllah—kelak kita bisa bertemu dengan mereka, sedangkan kebahagiaan di jannah itulah kebahagiaan yang hakiki.

“…padahal kenikmatan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”[7]

 

2. Membela mujahideen dengan lisan kita, menyingkap syubhat yang memojokkan mereka dan memberikan hujjah untuk mereka di hadapan manusia

Sungguh, ukhtiy muslimah, kita telah diperintahkan oleh Allah untuk menolong dienNya, dengan apapun yang dapat kita lakukan. Dan bagian dari menolong dienNya, adalah menolong para wali-waliNya yang menolong dien Allah, yaitu mujahideen.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong agama Allah…”[8].

 

Tugas kita untuk menyebarkan kemenangan-kemenangan yang diraih mujahideen. Tugas kitalah untuk membela mereka dengan lisan kita, memberikan hujjah-hujjah yang syar’i untuk membela mereka, membantah syubhat-syubhat yang menyerang mereka, agar terbayankan bagi orang yang masih ragu dan tersadarkan bagi orang yang lalai.

 

Telah ada sosok shohabiyah, ummul mu’minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar radliyallahu ‘anha, yang dengan sigap membela dien Islam dengan hujah-hujah yang kuat, membantah syubhat dengan dalil-dalil yang kuat. Darinyalah ratusan hadits diriwayatkan. Beliau radliyallahu ‘anha merupakan teladan yang cemerlang akan kefaqihan terhadap dien ini. Dan dari zaman ke zaman, bahkan di zaman kita ini, kita kan dapati muslimah-muslimah yang mengambil peran ini dalam rangka membela dienNya, membela syari’atNya, membela jihad dan mujahideen.

 

Sudah selayaknyalah bagi kita untuk mempelajari fiqh jihad dan masalah-masalah fiqh yang berkaitan dengan jihad. Hal ini akan memberikan manfaat bagi mujahideen, ketika kita membela mereka dari celaan-celaan para penggembos, orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Dan tentu saja, orang yang membantah dengan ilmu tidak akan sama dengan orang yang membantah tanpa ilmu. Maka bantulah mujahideen dengan memberikan mereka hujjah, dengan menyingkap syubhat yang menyerang mereka dari kalangan anti jihad dan para penggembos, serta konspirasi dari kalangan munafik. Serta memuji mereka (mujahideen) di hadapan manusia serta menyebutkan keunggulan dan karomah-karomah yang mereka miliki. Dan termasuk di dalamnya adalah, kita menjelaskan kepada kaum muslimin semuanya akan hakikat perang salib yang dilancarkan salibis-zionis-komunis-paganis internasional ini.

 

Bukankah lewat lisan dan tulisan kitalah, kita mencoba mengharridh kaum muslimin untuk berjihad. Dan bukankah, jihad dengan lisan ini mendahului sebelum jihad dengan harta dan jiwa? Seseorang tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan hartanya kecuali dengan lisan (tulisan), dan tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan jiwanya kecuali dengan lisan (tulisan). Maka, mengapa kita tidak ikut serta berperan di dalamnya?

Termasuk dalam peran ini, adalah menyebarkan semua materi-materi yang berkaitan dengan jihad dan dukungan terhadapnya, baik berupa buku-buku, buletin-buletin, dan kaset-kaset, yang mana hal ini dapat dilakukan baik bagi yang pandai menulis atau pun yang tidak pandai menulis. Menyebarkannya baik melalui email, forum-forum, blog dan semacamnya.

 

3. Membantu mujahideen dengan harta kita

Ukhtiy fillah, janganlah meremehkan peran harta kita untuk jihad fie sabilillah. Sesungguhnya ia (harta) memiliki peran penting dalam perjalanan jihad. Harta memiliki sumbangsih yang besar dalam roda jihad. Tanpanya—bi idznillah—roda jihad tidak bisa berjalan, perjalanan jihad akan terhenti, dan mujahideen tidak bisa melancarkan aksi-aksi jihad. Sedangkan Allah telah berfirman, “Belanjakanlah harta kalian di jalan Allah…”[9]

 

Dalam banyak ayat Al Qur’an[10], ketika Allah memerintahkan orang-orang mu’min untuk berjihad fie sabilillah, maka Allah mendahulukan jihad dengan harta dibandingkan dengan jiwa. Mengapa? Karena jihad dengan jiwa tidak akan terlaksana tanpa adanya harta yang mengiringinya. Seorang mujahid tidak bisa pergi berjihad, jika ia tidak memiliki harta untuk perjalanan jihadnya. Seorang mujahid tidak bisa melaksanakan aksi jihad, tanpa harta untuk merakit bom—misalnya—atau membeli senapan atau semacamnya yang merupakan sarana untuk jihad fie sabilillah.

 

Akan tetapi ini tidak berarti bahwa jihad dengan harta lebih utama dibandingkan dengan jihad dengan jiwa. Didahulukannya jihad dengan harta, karena cangkupan yang dibicarakannya sangat luas; baik dari kalngan laki-laki, wanita, pemuda, lanjut usia, anak kecil dan orang dewasa, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al ‘uyairi rahimahullah[11].

 

Hanya dalam 1 ayat[12] saja, Allah mendahulukan jihad dengan jiwa dibandingkan dengan jihad dengan harta. Karena dalam ayat ini terdapat transaksi jual beli antara pembeli (Allah) dengan penjual (orang-orang mukmin), yang mana Allah tawarkan bagi orang mukmin jannahnya yang sangat mahal, maka wajib bagi orang-orang mukmin untuk menyerahkan miliknya yang paling berharga, yaitu jiwa.

 

Lihatlah bagaimana pengorbanan seorang Khodijah—ummul mu’minin—radliyallahu ‘anha dalam bidang harta untuk penyebaran dien Islam. Beliau tak ragu sedikit pun menyerahkan hartanya demi tegaknya dien Islam. Maka, bukankah beliau adalah teladan yang mulia bagi kita? Lihat pula, bagaimana pengorbanan seorang ummu Muhammad untuk jihad fie sabilillah dan untuk keluarga mujahideen. Dan masih banyak lagi, teladan-teladan di zaman kita ini (bahkan di negeri kita ini) yang patut kita jadikan contoh baik yang tersembunyi mapun yang dzahir (tampak), jika saja kita mau mencari dan meneladani mereka.

 

Ukhtiy fillah, sesungguhnya apabila kita belum mampu membantu mujahideen dengan jiwa kita, maka bantulah mereka dengan harta kita. Bukankah kewajiban kita untuk mengurusi keluarga yang ditinggalkan mujahideen? Bukankah kewajiban kita untuk memberangkatkan mujahideen dengan harta kita? Sungguh di dalamnya ada kemuliaan dan pahala yang besar.

 

Dalam hadis shahih disebutkan,

“Barang siapa membekali orang yang berjihad di jalan Allah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahalanya tanpa mengurangi pahala orang yang berjihad tersebut sedikit pun”[13]

 

“Siapa pun di antara kalian yang menggantikan tugas orang yang keluar berjihad di keluarganya dan hartanya dengan baik, maka dia berhak mendapatkan setengah pahala orang yang keluar berjihad”[14]

 

Termasuk di dalamnya adalah, kita mengumpulkan sedekah dari kaum muslimin untuk mujahideen dan keluarga mereka. Dan juga membayar zakat untuk mujahideen, karena salah satu ashnaf yang berhak memperoleh zakat adalah mujahideen sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al qur’an[15] yaitu “ashnaf fie sabilillah”.

 

Demikian juga, kita harus mengeluarkan harta untuk membebaskan mujahideen yang tertawan. Karena sesungguhnya tugas kaum musliminlah (yang mampu) untuk membebaskan tiap kaum muslimin yang ditawan orang-orang kafir, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda;

“Bebaskanlah tawanan, berilah makan orang yang kelaparan, dan jenguklah orang yang sakit”.[16]

Maka, ambilah peran ini sesuai kemampuan kita. Jangan sampai kita tertinggal dari “Pasar Jihad” ini.

 

4.Membantu mujahideen dengan jiwa kita

Inilah puncak pengorbanan yang tertinggi dalam pengorbanan untuk dien Islam dan kaum muslimin, pengorbanan untuk jihad dan mujahideen. Pengorbanan yang mahal, karena jiwa menjadi tebusannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari ridha Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya”[17]

 

Memang benar, tidaklah menjadi fardlu ‘ain seorang muslimah turut serta dalam jihad dengan jiwa memerangi orang-orang kafir, akan tetapi status hukumnya adalah keutamaan (dengan tetap memperhatikan batasan-batasannya, seperti ada mahrom,  berhijab, aman dari fitnah dll), dan hanya dalam kondisi tertentu saja muslimah diwajibkan[18]. Akan tetapi, tidakkah hati kita tergerak untuk ikut serta di dalamnya? Sedangkan jihad adalah amalan yang tertinggi, pahala syahid yang Allah janjikan sangatlah menggiurkan, sedangkan telah banyak teladan sebelum kita yang telah memberikan contoh untuk kita?

 

Inilah dia Shofiyah binti Abdul Muthalib radliyallahu ‘anha, bibi Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wa sallam, saudara kandung dari Hamzah bin Abdul Muthalib radliyallahu ‘anhu. Ia adalah seorang wanita mukminah yang telah berba’iat, juga mujahidah yang sabar. Betapa pemberaninya ia dalam keikutsertaan jihadnya bersama Rasulullah dalam perang Khandak, tatkala Yahudi berupaya melakukan penyerangan yang busuk terhadap pasukan wanita. Ia tak ragu untuk membunuh si Yahudi ini dengan tongkat dari kayu. Dialah, sebagaimana yang ia katakan, “wanita pertama yang membunuh seorang laki-laki”. Dia bahkan lebih berani dibandingkan kebanyakan para lelaki zaman ini.

 

Inilah ummu ‘umarah (Nasibah binti Ka’ab) radliyallahu ‘anha, prajurit yang beriman, di mana ia tak sedikit pun ragu untuk membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, di mana saat itu banyak dari para lelaki meninggalkan medan jihad karena rasa takut akan musuh. Ia tak segan membela Rasulullah dengan jiwanya, menebaskan padang pada musuh-musuh Allah meski dalam kondisi terluka. Kepadanyalah Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapakah yang sanggup melakukan sebagaimana yang kau lakukan ini, wahai ummu ‘umarah?”.

 

Begitulah para shohabiyah radliyallahu ‘anhunna. Keimanan mereka, mereka buktikan dengan keikutsertaan dalam pembelaan terhadap dien ini dengan lisan, harta dan jiwa mereka. Karena sesungguhnya keimanan itu membutuhkan pembuktian. Dan kepada merekalah (shohabiyah), kita mengambil teladan, dan kepada merekalah kita bercermin.

Kita tidak melupakan keberanian Royyim ar Royaasyiy rahimahallah, muslimah Palestina, seorang istisyhadiah yang telah menjual dengan murah jiwanya di jalan Allah. Ia memberikan teladan yang sangat mengagumkan akan pengorbanan jiwa di jalan Allah. Ia telah meneruskan “garis keturunan” shofiyah dan ummu ‘umaroh dalam keberaniannya membela dien Islam.

 

Kita pun tak melupakan sosok Sana’ Al Muhaidily rahimahallah, pelaku istisyhadiyah di Libanon yang telah menewaskan kurang lebih 300 tentara kafir Amerika. Ia tak gentar, meskipun jiwanya melayang di jalan Allah. Alangkah mulianya engkau wahai Al Muhaidily. Sungguh, alangkah mulianya…

 

Tak ketinggalan pula, pengorbanan Nausyah Asy Syammary dan Waddad Ad Dulaimiy rahimahumullah di jalan Allah di bumi Iraq, yang sangat menawan hati dan penglihatan kita. Maka, adakah di antara kita yang mau mengambil pelajaran dari mereka ya ukhtiy?

Ukhtiy fillah, inilah peran-peran yang bisa kita sumbangkan dalam kancah jihad.

 

Dan satu peran lagi dalam rangka membantu mujahideen yang setiap orang dapat melakukannya, baik muda atau pun tua, baik kaya atau pun miskin, baik yang sudah memiliki anak maupun belum, baik yang sudah menikah atau pun belum…ia adalah do’a.

 

Kita harus mendoakan mujahideen agar mereka tetap teguh di atas jalan jihad, agar mereka dapat mengalahkan musuh-musuh mereka dengan pertolongan Allah, dan agar Allah menimpakan kecelakaan bagi musuh-musuhNya. Juga kita harus berdoa untuk mujahideen yang tertawan agar segera dibebaskan, untuk mujahideen yang terluka agar segera sembuh, untuk mujahideen yang gugur di medan jihad agar diterima sebagai syuhada’ dan berdoa untuk para pemimpin mereka. Demikian juga, kita harus mendoakan anak-anak dan keluarga mereka agar sabar, selamat dan terpelihara.

 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan doa qunut selama sebulan penuh untuk tiga orang shahabat yang tertawan di Mekkah. Kaum musyrikin Mekkah menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk murtad. Di antara doa yang beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, selamatkan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bi Abu Rabi’ah”[19].

 

Dan sesungguhnya “doa adalah senjata kaum muslimin”. Maka hendaklah berdoa di waktu-waktu mustajab, bersabar dan berhusnuzhan pada Allah bahwa Dia pasti akan mengabulkannya.

 

Sungguh demi Allah, sedikit apapun usaha kita dalam rangka membela dien Allah, dalam rangka membela syari’atNya, maka selama kita ikhlas tentu ada nilainya di sisi Allah. Maka usahakan apa saja yang kita bisa untuk membela dien Allah, untuk membela jihad dan mujahideen, untuk berpartisipasi dalam perjuangan ini. Karena sesungguhnya setiap pasar itu akan ada waktunya ditutup. Dan jika pasar jihad telah ditutup, maka pulanglah orang yang telah berpastisipasi dengan membawa keberuntungan, dan merugilah orang-orang yang hanya duduk-duduk saja tanpa ikut serta membantu.

 

Ukhtiy Muslimah, sungguh, ummat ini membutuhkan sosok-sosok teladan seperti mereka (para shahabiyyah radliyallahu ‘anhunna), yang tak ragu menawarkan dengan murah ruhnya di jalan Allah. Ummat ini membutuhkan sosok-sosok seperti mereka yang menyerahkan buah hatinya untuk dijadikan ‘tumbal’ fie sabilillah. Ummat ini membutuhkan sosok-sosok seperti mereka yang bersabar di atas jalan tauhid dan jihad, lagi berinfak fie sabilillah. Maka masih adakah alasan bagi kita—wahai ukhtiy—untuk tidak ikut serta dalam jihad ini?

Dan sungguh, dalam medan jihad saat ini, ummat ini belum mandul untuk melahirkan kstaria-ksatria wanita yang keberaniannya seperti mereka. Ummat ini belum mandul untuk menampilkan keberanian muslimah-muslimah dalam medan peperangan, juga belum kering rahim ummat ini untuk tetap melahirkan sosok-sosok teladan atas pengorbanan diri untuk dienullah.

 

Dan ummat ini tidaklah mandul untuk melahirkan kembali sosok-sosok shofiyah dan ummu ‘umarah, untuk melahirkan sosok seperti Al Khansa’ radliyallahu ‘anhuma, demi Allah tidak! Selamanya, generasi penerus shofiyah dan ummu ‘ummarah akan senantiasa ada, generasi penerus Khonsa’ akan senantiasa bermunculan, dengan atau tanpa keikutsertaan kita di dalamnya.

Referensi:

– “39 Cara Membantu Mujahidin”, Syaikh Muhammad bin Ahmad As Salam

– “Kado Untuk Mujahidah”, softcopy terbitan Al Qoidun Group

–  “Nasihat-nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; Penawar Lelah Pengemban Dakwah”, Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah

– “Sirah Shahabiyah”, Syaikh Mahmud Mahdi Al Istambuli Musthafa Abu Nashr Asy Syalabi

=============

[1] An Nisa : 124

[2] HR. Bukhori

[3] Penjelasan jihad saat ini telah menjadi fardlu ‘ain telah banyak dijabarkan oleh para ulama’ yang hanif dalam kitab-kitab mereka, di antaranya; Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah karya syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz, Ad Difa’ ‘An ‘Arodhil Muslimin Ahammu Furudhil A’yan karya syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, Qooluu Fa Qul ‘Anil Jihad karya Harits Abdus Salam al Mishry, dan kitab-kitab lainnya.

[4] An Nisa’ : 84

[5] Al Anfal : 65

[6] Kado Untuk Mujahidah, softcopy terbitan “Al Qho’iduun group”.

[7] At Tawbah : 38

[8]  As Saff : 14

[9] Al Baqarah : 195

[110 At tawbah : 41 ;  At Tawbah : 20 ; Al Anfal : 72 ; Al Anfal : 74 dan lain-lain.

[11] Dari “39 cara membantu mujahidin”, Muhammad bin ahmad as salam.

[12] Yaitu At Tawbah : 111

[13] HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Khalid

[14] HR. Muskim dan Abu Dawud dari Abu Sa’id

[15] QS. At Taubah : 60

[16] HR. Bukhori

[17] Al Baqoroh : 207

[18] Lihat penjelasan dalil-dalinya dalam kitab “Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah” karya syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘aziz dan kitab “Fie Zhilali Surati At Tawbah” karya syaikh ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah dan kitab-kitab berkenaan jihad lainnya.

[19] HR. Bukhori, HR. Muslim, HR. Abu Dawud, dan HR. An Nasa’i dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.

ditulis oleh Ummu Fathin

 

Categories: Iseng...

Sejarah Da’wah

April 10, 2011 Leave a comment

بسم الله الرحمن الرحيم

Makalah Materi Kajian Da’wah

Oleh; Ali Rasyad

I. Sejarah da’wah dan perkembangannya

Da’wah sebelum datangnya islam

Garis besar da’wah para nabi sebelum datangnya islam:

1.       Menyeru untuk beribadah kepada Allah ta’la, memerangi kekufuran dan kemusyrikan, mengajak pada ketaatan, menjauhi larangan, ( An nisa’; 163-165 )

2.       Seruan para nabi terdahulu disesuakan dengan keadaan umatnya, setiap nabi diutus dengan kaum yang berbeda-beda, dan risalahnya sesuai dengan kebutuhan kaumnya, ( Al haj; 67 )

3.       Sudah sunnah Allah ta’ala pada umat terdahulu dengan memenangkan orang-orang mu’min  dan membinasakan kaum kufar, ( Al an’am; 42-44 )

4.       Berbedanya metode da’wah yang dipakai para nabi terdahulu sbagaimana yang dijelaskan dalam Al qur’an, oleh karena itu, sebagai da’i seyogyanya untuk menjadikan pelajaran dan pijakan dalam berdakwah,

5.       Sunnah Allah ta’ala memberikan pertolongan kepada para nabi dan rosul-Nya berupa mu’jizat, untuk menguatkan orang yang telah mengimaninya, dan pejelasan bagi orang kafir yang mengigkarinya

6.       Jalan da’wah para nabi terdahulu agar diterima oleh kaumnya tidaklah mudah, tidak selalu diterima dan tidak selalu ditolak, itu semua sudah sunah Allah ta’la dalam hidup, ( Hud; 118-119 )

Da’wah pada masa datangnya islam

#. Garis besar da’wah nabi Muhammad di makkah

1.       Konsen dalam penyebaran da’wah baik secara sembunyi dan terang2an, memulai dari kerabat, dan mengeluarkan manusia dari kebatilan kepada kebenaran

2.       Mendidik bagi yang menerima da’wah dengan cara: mengajarkan agama islam, mempraktekan dalam kehidupan mereka, menyatukan mereka dengan makna ukhuwah, saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran.

3.       Membentengi dari serangan musuh dengan kekuatan yaitu jihad dan da’wah ( Al furqoh; 52 )

4.       Melebarkan da’wah dan tidak terfokus pada satu tempat saja ( dari thoif hijrah ke madinah )

5.       Melanjutkan da’wah dengan perencanaan kedepan

#. Garis besar da’wah nabi Muhammad di madinah

1.       Konsen pada pengikut untuk menyampaikan da’wah, dengan mendidik dan mengajarkan islam bagi yang menerima dengan cara membacakan  Al qur’an kepada umat, dan membangun masjid dan memakmurkannya, mempersatukan antara kaum muhajirin dan ansar.

2.       Menjaga dengan menegakkan daulah islamiyah jika 3 rukun ini terpenuhi: asas/pondasi/prinsip yag kuat pada diri kaum mu’minin, daerah yang tepat/sesuai, peraturan yag jelas. Karena  ini semua adalah penopang terbesar dalam berda’wah dan sangat penting dalam berlembaga/koordinasi.

3.       Fokus dalam pengamalan hukum-hukum islam kepada semua lapisan umum dan pribadi, menegakkan syiar islam,

4.       Perlawanan kepada musuh yang menyerang, baik dari dalam atau luar, dengan cara bijak atau perang dan menyiapkan diri dengan berlatih  ( Al anfal ; 60 )

5.       Pelaksanaan da’wah islamiyah dengan cara menyebarkan duat ke berbagai penjuru,

Da’wah pada zaman khulaafa ur rosyidin

Masa khilafah islamiyah yaitu selama 30 thn, mulai dari wafatnya nabi Muhammad              10 H sampai terbunuhnya sahabat Ali                  40 H.  Sebagaimana hadist Rosulullah:

عن سفينة رضى الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خلافة النبوة ثلاثون سنة, ثم يؤت الله الملك أو ملكه من يشأ ( رواه أبو دود و الترميذى, حديث حسن )

Kelanjutan da’wah islamiyah pada masa ini adalah menyebarkan islam dan mengajarkannya, mengaplikasikan hukum islam pada kehidupan, dan meluasnya wilayah islam.

Da’wah dalam pemikiran sebagai berikut:

–          Mengumpulkan ayat-ayat Al qur’an untuk dijadikan mushaf

–          Membentengi kaum muslimin dengan mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan

–          Pada masa sahabat utsman                        dalam mengajarkan ilmu, menjaga Al qur’an dan hadits-hadits nabi                       , begitu penting sehingga menjadi gambaran untuk dilanjutkan periode setelahnya .

Da’wah pada masa daulah umawiyah, abasiyah, ustmaniyah

a.       Masa umawiyah

Adalah dimulai pada tahun 40 H ( Mua’wiyah bin Abi sufyan ) sampai tahun 132 H ( Marwan ibn Hakim ), perluasan wilayah dan pemikiran( intelektual ) menjadi pergerkan da’wahnya, dan munculnya ulama’-ulama’ dalam bidang ilmu-ilmu agama yaitu:  fiqih, syari’ah, tafsir, hadist, kemudian  menyebarkan ulama’nya ke daerah kekuasaan seperti: mesir, kufah, syam, dan afrika untuk mengajarkannya kepada manusia . Sehingga penyebaran ilmu islam pada masa ini merata kesemua wilayah dan disetiap tempat begitu banyak dijumpai dengan majlis-majlis ilmu, pada masa ini dalam penyebaran da’wah tidak dikhususkan kepada seseorang atau da’I tertentu, akan tapi semua lapisan masyarakat diwajibkan ntuk menyampaikan da’wah dan menyebarkan islam. Ulama’ pada masa ini yaitu : Hasan al basri dan lain-lain.

Usaha yang besar pada masa ini dalam perluasan ilmu yaitu: perhatian untuk menjaga  hadist-hadist nabi  dengan penelitian sumbernya dan pengumpulan serta bersafar dalam menuntut ilmu, sehingga terjagalah sumber asas islam yaitu Al qur’an dan As sunnah. Sedangkan dalam hal perluasan wilayah islam begitu besar sehingga menjadikan ladang da’wah ada tiga tempat: wilayah asia kecil ( rum ), afrika utara dan Andalusia,

b.      Masa abasiyah

Adalah dimulai pada tahun 132 H ( Abi ‘abas Abdullah Safaah ) sampai tahun 656 H ( Mu’tasim billah ) adapun da’wah islamiyah pada masa ini kuat di waktu putaran awal-awal khilafah tapi melemah di waktu ke dua yaitu pada tahun : 132 – 447 H, 447- 656 H. melemahnya da’wah pada tingkatan atas dan tidak berpengaruh kelapisan bawah, para ulama’dan duat tetap berdakwah dengan sendirinya, sehingga majlis ilmu dll tidak hilang. Ulama’ pada masa ini yaitu : Ibnu Mubarak, Sofyan ats tsauri, imam bukhori, imam muslim, imam sunan al arba’ah.

Dan Allah ta’ala telah memberikan kenikmatan besar pada umat ini dibidang keilmuan dengan munculnya ulama’-ulama’ besar pada masa ini.

c.       Masa ustmaniyah

Adalah dimulai pada tahun  698 H / 1299 M ( Utsman bin artaghral ) sampai tahun 1343 H / 1924 M. da’wah islamiyah pada masa ini kuat di permulaan dan secara perlahan melemah dengan seiring melemahnya khilafah ustmaniyah. Tidak adanya pengawalan pergerakan keilmuan dan tsaqofah saat membuka daulah utsmani pada penyebaran ilmu-ilmu agama dan bahasa diantara daerah, munculnya para ahlu bid’ah dan khurofat, dan semakin jahnya umat islam dari manhaj yang benar. Menyebarnya khurofat dan kerusakan system dalam structural seperti : kebendaharaan, korupsi. Sewenang-wenangnya pemerintah dan memberlakukan hukum sendiri menghilangkan syuro.

Da’wah pada masa sekarang

Garis besarya :

a.       Tetap berjalannya da’wah islamiyah baik dalam menyebarkan islam, atau mengajarkan dan menjelaskan tentang islam kepada manusia dan diaplikasikan dalam kesehariannya

b.      Bermunculnya gerakan-gerakan  da’wah islamiyah dengan berbagai macam baik perorangan atau kelompok ( lembaga )

c.       Bermacam-macamnya manhaj dan metode da’wah dengan da’wah menyeluruh atau sebagian seperti: pengkaderan, penceramah,  pemikiran, perpolitikan

d.      Banyaknya kesalahan dalam pergerkan da’wah baik secara personal atau kelompok dengan sebab macam-macam dari dalam atau luar, yaitu: membatasi diri, tergesa-gesa dalam melangkah, bereaksi atas hasutan, terperangkap pada kepuasan,

e.      Masalah da’wah pada saat ini adalah dari dalam yaitu: sempitnya manhaj da’wah, salah dalam metode da’wah, lemahnya wasilah da’wah

II. Sumber  da’wah

Adalah kaidah, dasar, dan prinsip sebagai landasan untuk menegakkan da’wah. Apabila da’wah tidak dilandasi dengan kaidah yang lurus, dasar yang benar, prinsip yang kuat maka da’wahnya akan rusak dan tidak membawa kebaikan. Karena da’wah ini menyeru kepada Allah ta’ala seharusnya menjaga sumber-sumbernya.

a.       Sumber pegangan dalam da’wah

–          Al qur’an

–          Hadist

–          Sejarah Nabi yang benar

–          Sejarah para khalifah terdahulu

–          Kisah perjalanan para ulama’ dan da’i dalam menyiarkan islam yang benar

b.      Rukun da’wah

Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa rukun da’wah yaitu: bagian – bagian yang memainkan peranan dalam da’wah, dan da’wah itu tidak akan tegak kecuali dengannya adalah sebagia berikut:

1.       Da’i

2.       Mad’u

3.       Tema da’wah

#.  Pengertian

Da’i adalah: penyeru islam dan mengajarkannya serta mendorong untuk mempraktekan islam itu sendiri

ياأيها النبي اءنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا # وداعيا الى الله باذنه, وسراجا منيرا ( الأحزاب 45-46 )

#.  Pentingnya seorang da’i dan keutamaannya:

a.  Dari segi tema yang disampaikan yaitu menyeru kepada Allah ta’ala untuk                                   menggapai ridho dan jannah-Nya ; ( فصلت: 33

b. Dari segi tugas : sesungguhnya tugas seorang da’i adalah  amalan yang mulia secara mutlak, karena itu perbuatan para nabi alaihumus sholatu wassalam, sesungguhnya tugas besar yang diemban menunjukkan kebesaran baginya ; النساء: 165

c. Dari segi pahala: Allah ta’ala telah menjanjikan bahwa seorang da’i dengan berpahala besar, keutamaan besar,  sebagaimana hadist di bawah ini ;

من دعا الى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه , لاينقص ذلك من أجورهم شيأ, ومن دعا الى ضلالة كان عليه من الاءثم مثل أثام من تبعه , لاينقص ذلك من أثامهم شيأ

#. Sifat dan adab seorang da’i:

Da’wah adalah amalan para nabi dan pengikutnya , oleh karena itu bagi seorang da’i yang menjalankannya untuk berprilaku yang baik agar menjadi bagian cerminan dari apa yang di da’wahkan dan juga untuk keberhasilan,

a.       Beriman kepada Allah yang kuat

b.      Hubungan yang kuat dengan Allah ta’ala : ikhlas berdakwah dijalan-Nya, cinta pada Allah ta’ala dengan memprbanyak ibadah dan dzikir

c.       Berilmu dan berwawasan

d.      Mengamalkan ilmu dan istiqomah

e.      Menyampaikan  dengan bijak

f.        Berakhlak yang baik

g.       Berbaik sangka kepada kaum muslimin

h.      Menutupi aib manusia dari mereka

i.        Mengajak kepada kebaikan dengan benar dan menjauhkan dari kebatilan

j.        Mendudukkan manusia sesuai derajatnya dan mengetahui yang dihormati

k.       Saling tolong menolong  sesama para da’i

 

#. Persiapan seorang da’i :

 

a.       Semangat dalam mempelajari hukum-hukum islam, pokok-pokoknya dan adab-adabnya,serta membekali diri yang berhubungan dengan da’wah

b.      Tekun  dalam  mempelajari Al qur’an, hadits dan  sejarah para nabi,

c.       Mendalami makna persaudaraan seiman

#. Pembagian mad’u dalam dua kelompok :

a.       Muslimun dan mu’minun

Kategori muslimin :

–           mendapat petunjuk dan dholim, dalam hal keyakinan ( aqidah )

–          Berlomba-lomba dalam kebaikan, mendholimi diri sendiri ( fasik ), lemah dan bimbang diantara dua poin

b.       Kafirin

–          Menolak dan Mengingkari ( atheis )

–          Orang musyrik penyembah berhala ( kafir asli dan kafir murtad )

–          Ahlul kitab

–          Orang-orang munafiq

#. Materi da’wah

Adalah islam dengan rukun-rukunnya  islam dan iman serta akhlak karimah , sifat hasanah dan jalan yang lurus.

Barangkali penekanan pada islam secara umum yaitu:

–          Robbaniyah                                 –     keadilan

–          sempurna                                       –      amalan

–          Jelas                                              –     umum

Manhaj da’wah

Macam –macam nya : dari sisi sumber, penempatan , keadaan, penetapan

a.       Sumbernya dibagi dua:

–          Manhaj robbaniyah yaitu: Al qur’an dan sunnah

–          Manhaj basyariyah yaitu : berijtihad dalam berdakwah dengan berpegang pada manhaj robbaniyah

b.      Penempatannya yaitu: keyakinan, ibadah , social, ekonomi, militer , politik, kedokteran , olahraga , hiburan.

Semua ini dalam penerapannya harus sesuai dengan manhaj robbaniyah, asas islam.

c.       Keadaan yaitu: dari segi umum atau khusus, personal atau kelompok

d.       Penetapan yaitu: manhaj atifi, aqli, hissi

 

–          Manhaj atifi adalah: kumpulan cara- cara penekanan yang lembut dan menyentuh perasaan hati, diantaranya;

  • Mau’idhoh hasanah: khutbah, mengingatkan tentang nikmat Allah ta’ala,  menceritakan kisah-kisah yang lembut, mengingatkan pahala dan adzab dll.
  • Menampakkan kemurahan hati kepada mad’u: dengan kalimat yang baik ( ya banii ), membantu seseorang dalam kesusahan, member bantuan kebutuhan pertolongan keamanan,

Penerapan manhaj atifi ini pada keadaan berbeda-beda dan bermacam-macam daerah, maka bagi seorang da’i harus bias mengetahui tempat mana yang  cocok untuk menggunakan manhaj ini,mungkin kita rincikan sebagai berikut:

  • Orang / kaum awam
  • Orang yang biasa ( tidak bisa mengukur kadar keimanannya )
  • Orang-orang yang hatinya lemah : wanita, anak-anak, orang miskin dan yatim, dan yang tertimpa musibah
  • Da’wah bapak ke anak dan sebaliknya, kerabat dekat, sahabat
  • Daerah yang sepi dari da’wah

Sedangkan kekhususan manhaj atifi adalah:

  • Penyampaian yang lembut
  • Respon yang cepat dari mad’u, dan menerima dengan penyampain yang baik
  • Luasnya lingkungan untuk menerapkan manhaj atifi
  • Perubahan yang cepat dan ber atsar

–          Manhaj aqli adalah: kumpulan cara-cara da’wah dengan penekanan respon akal untuk  berpikir, merenung, mengingat

Rician manhaj aqli sebagai berikut:

  • Membuat akal berfikir ; pemakaian denga qiyas
  • Berdebat dan diskusi,
  • Menyebutkan dengan perumpamaan
  • Kisah-kisah yang meluluhkan akal dan menjadikan berfikir

Tempat-tempat yang bisa diterapkan manhaj aqli:

  • Orang-orang yang ingkar pada hal-hal yang nyata
  • Orang-orang yang kebablasan akal dan pemikiran
  • Ahlus subhat dan yang diperdaya oleh kebatilan

Kekhususan manhaj aqli:

  • Berpegang pada kesimpulan akal, kaidah-kaidah mantiq, yang jernih
  • Beratsar dengan kuat pada mad’u, perubahan cara berpikir
  • Bantahan untuk orang yang menentang
  • Pengganti jika manhaj atifi jika tidak mengena

–          Manhaj hissi adalah : kumpulan cara-cara da’wah dengan penekanan pada organ perasa, bersandar pada penglihatan dan percontohan,

Rincian manhaj hissi sebagai berikut:

  • Memaksa panca indra untuk melihat keadaan
  • Cara mengajarkan untuk menerapkan
  • Permisalan yang baik untuk mengajarkan akhlak  dan jalan
  • Mengubah kemungkaran dengan tangan, menghilangkan dari hadapannya

Tempat-tempat yang bisa diterapkan dengan manhaj hissi:

  • Mengajarkan praktek amalan dan mendakwahkannya
  • Dipakainya oleh ulama’- ulama’ pada ilmu praktek
  • Orang-orang yag awam terhadap sunnah kauniyah

Kekhususan manhaj hissi :

  • Respon yang cepat dan berpegangan pada apa yag dilihat
  • Beratsar yang dalam kepada jiwa manusia
  • Luasnya wilayah untuk mempraktekan manhaj hissi
  • Dibuthkannya pada tempat-tempat yang membutuhkan ilmu praktikum.
Categories: kajian sabi'

Tafsir Sufi

April 9, 2011 Leave a comment

بسم الله الرحمن الرحيم

TAFSIR SUFI

Seri Kajian Tafsir Jilid 2

Disarikan dari buku : At-Tafsir wa Al-Mufassirun

Karangan Dr. Husain Ad Dzahabi

(oleh Asrizal Mustofa)

I. Pendahuluan

Pada kesempatan yang lalu kita telah membahas dua aliran tafsir, yaitu tafsir syi’ah dengan beberapa cabangnya dan tafsir khawarij. Pada pertemuan kali ini kami akan membahas tafsir sufi.

II. Pembahasan

Tafsir Sufi

Tasawuf dibagi menjadi dua:

1.       Tasawuf nadzori: yaitu tasawuf yang hanya berbasis pada teoritis.

2.       Tasawuf ‘amali: yaitu amalan-amalan keseharian yang dilakukan oleh seorang sufi, seperti zuhud, menghindari hal-hal yang mubah, fana dalam ketaatan kepada Allah Swt. dan sebagainya.

Kedua aliran tasawuf ini sangat memberikan dampak dalam penafsiran Al Qur’an. Sehingga tafsir yang dihasilkan oleh golongan ini menjadi dua bagian pula: tafsir sufi nadzori dan tafsir sufi isyari.

I. Tafsir sufi nadzori

Seperti yang kita ketahui, bahwa pada aliran sufi terdapat kelompok yang membangun tasawufnya atas dasar teori dan materi-materi filsafat. Sangat tidak heran jika mereka akan memandang Al Qur’an sesuai dengan kacamata dan teori-teori mereka.

Memang tidak mudah seorang sufi mendapatkan ajaran-ajaran Al Qur’an yang secara gamblang sesuai dengan teori-teori mereka. Sedangkan Al Qur’an diturunkan sebagai hidayah dan pedoman seluruh manusia, tidak semata untuk membenarkan teori-teori mereka. Boleh jadi mayoritas teori-teori mereka adalah diada-adakan dan sangat jauh dari nafas agama dan nalar sehat.

Hanya saja orang-orang sufi sangat ingin sekali teori-teori mereka diterima oleh halayak, sehingga mereka berusaha mencari-cari dalil dari Al Qur’an yang mendukung teori-teori tersebut. Sehingga kita bisa melihat mereka kesusahan dalam memahami Al Qur’an, bahkan mereka menafsirkan Al Qur’an hingga keluar dari makna Al Qur’an yang benar sesuai agama dan bahasa.

Ibnu Arabi, guru besar aliran ini

Bisa kita katakn bahwa Muhyiddin Ibnu Arabi adalah guru besar aliran ini. Meskipun ia juga memiliki beberapa tafsiran Al Qur’an secara isyari.

Ibnu Arabi dan teori-teori filsafat

Jika kita menelaah karangan-karangan Ibnu Arabi; seperti tafsir yang dinisbatkan kepadanya, Al Futuhat al Makkiyah, dan Al Fusus, kita bisa melihat ia banyak menakwilkan ayat-ayat Al Qur’an atas dasar teori-teori sufi-filsafat.

Sebagai contoh dalam menafsirkan ayat 57 surat Maryam mengenai kedudukan nabi Idris as.: (ورفعناه مكانا عليا), ia menafsirkan seperti apa yang dikatakan oleh falasifah mengenai alam aflak.

Ibnu arabi dan paham wihdatul wujud

Ketika kita menelaah tafsir karangan Ibnu Arabi, kita bisa melihat bahwa ia sangat terpengaruh paham wihdatul wujud. Yang mana hal itu menjadi unsur utama bagi seorang sufi dalam membangun pemahamannya. Tidak sedikit Ia menafsirkan ayat yang sesuai dengan paham tersebut. Meski penafsiran tersebut terkadang sangat melenceng dari maksud asli yang dikandung oleh ayat tersebut.

Misalnya ketika ia menafsirkan ayat pertama  surat An Nisa’ (….ياأيها الناس اتقوا ربكم) ia berkata: “jadikan hal-hal ddzahirmu sebagai pelindung tuhanmu, dan jadikan batinmu (yaitu tuhamu) sebagai pelindung dirimu..”.

Tafsir sufi nadzori dalam timbangan syar’i

Dari keterangan-keterangan diatas bisa kita simpulkan bahwa tafsir Al Qur’an pada aliran ini kebanyakan melenceng dari tujuan awal Al Qur’an. Al Qur’an bermaksud A, tetapi mereka berkata B, yang mana sangat bertolak belakang dengan yang dimaksud oleh Al Qur’an.

Ibnu Arabi sangat condong dengan paham wihdatul wujud. Seperti halnya Abu Yazid Al Bustomi dan Al hallaj.

Wihdatul wujud menurut pandangan mereka adalah:

أنه ليس هناك إلا وجود واحد كل العالم مظاهر ومجال له, فالله سبحانه هو الموجود الحق, وكل ما عداه ظواهر و أوهام, و لا توصف بالوجود إلا بضرب من التوسع والمجاز

Al Hallaj mengatakan: “aku adalah Allah”. dan lainya juga mengatakan hal yang serupa. Paham ini menyebar dikalangan sufi melalui perantara falasifah dan Ismailiyah Batiniyah.

Mazhab ini membuat rancu agama, menghilangkan arti agama dari makna sesungguhnya. Apakah layak paham seperti ini dijadikan pondasi dalam menafsirkan Al Qur’an?!

Sangat tidak layak untuk kita terima penafsiran-penafsiran Al Qur’an semacam ini, siapapun yang mengatakannya. Dan juga tidak layak kita terima penafsiran yang dibangun atas dasar teori-teori falasifah.

II. Tafsir sufi isyari

Hakikat tafsir ini adalah: menakwilkan Al Qur’an dengan menyelisihi perkara-perkara yang kasat mata, dengan menggunakan isyarat-isyarat rahasia, yang hanya nampak oleh arbab as suluk. Mungkin juga tafsir ini dipadukan dengan tafsiran secara dzahir.

Perbedaan

Ada dua sisi perbedaan:

1.       Tafsir sufi nadzori dibangun atas dasar teori-teori ilmiah. Teori-teori ini terlebih dahulu terbesit dipikiran seorang sufi, kemudian baru diterapkan pada ayat-ayat Al Qur’an.

Sedangkan tafsir isyari tidak berbasis pada muqadimah-mukadimah ilmiyah. Akan tetapi didapatkan dari hasil riyadhoh seorang sufi, hingga mencapai derajat tertentu. Sehingga bisa mengungkap makna-makna yang tersembnyi.

2.       Seorang penafsir sufi nadzori beranggapan bahwa semua yang dikandung ayat adalah makna sebenarnya. Dan tidak ada makna lain dibalik itu semua.

Sedangkan dalam tafsir isyari dianggap ada makna-makna tersembunyi dibalik penafsiran secara dzahir tersebut.

Adakah tafir isyari dalam islam?

Terbesit pertanyaan: adakah asal usul tafsir isyari dalam islam? Ataukah tafsir ini muncul bersamaan dengan munculnya tasawuf dalam islam?

Sebenarya tafsir isyari ini bukanlah suatu hal yang baru dalam islam. Akan tetapi sudah ada pada zaman turunnya wahyu.

Isyarat Al Qur’an mengenai hal ini:

(أفلا يتدبرون القرآن)

(فمال هؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا)

Adapun isyarat dari hadis adalah:

(لكل آيه ظهر وباطن…)

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis tersebut

1.       Dzahir-nya adalah lafal ayat, sedangkan batin-nya adalah takwilnya.

2.       Abu Ubaidah: cerita-cerita umat terdahulu, dzahir-nya menceritakan kehancuran mereka, sedangkan batin-nya adalah pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita tersebut.

3.       Ibnu Naqib : dzahir-nya adalah makna-makna yang kasat matavoleh para ulama. Sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung yang hanya bisa diketahui oleh siapa saja yang diberi kemampuan ole Allah Swt.

Tafsir isyari dalam timbangan syariat

Seperti yang kita katakan, bahwa Al Qur’an memiliki makna dzahir dan batin. Adapun dzahir Al Qur’an adalah lafal Al Qur’an yang turun dengan bahasa arab. Sedangkan batin-nya adalah maksud Allah yang terkandung di balik lafal-lafal dan susunan-susunan kalimat tersebut.

Setiap makna yang diambil dari Al Qur’an namun tidak sesuai dengan apa yang berlaku dalam tata bahasa arab, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai tafsir yang benar.

Menenai keabsahan makna batin, para ulama mensyaratkan dua hal:

1.       Benar secara kaidah bahasa arab

2.       Adanya penguat dari nash yang lain, dan tidak saling bertentangan.

Perkataan ulama mengenai tafsir isyari

Jika kita melihat perkataan- perkataan para ulama mengenai tafsir ini, hampir semua perkataan mereka berdasar atas husnudzon. Seperti Ibnu Salah, Sa’duddin At Taftazani, Ibnu Atho As Sakandari, dll.

Syarat diterimanya tafsir isyari

1.       Tidak menafikan makna dzahir

2.       Ada dalil penguat menurut syar’i

3.       Tidak bertentangan dengan syariat maupun akal sehat

4.       Tidak berpendapat bahwa tafsir isyari adalah satu-satunya makna yang dikandung oleh ayat, sehingga menafikan makna dzahir.

Karangan tafsir isyari

1.       Tafsir Al Qur’anul ‘Azim – At  Tastury

2.       Haqaiq At Tafsir – As Sulamy

3.       ‘Araisul Bayan fi Haqaiq Al Qur’an – Abu Muhammad As Syairazy, dll.

 

III. Penutup

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai tafsir sufi, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena kami hanya menukil dari satu referensi dalam makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

Pada kesempatan berikutnya insyaallah kami akan membahas tafsir falasifah, fuqaha, dan aliran-aliran tafsir modern. Wallahua’lam.

Categories: kajian sabi'

Tafsir Kita

April 8, 2011 Leave a comment

بسم الله الرحمن الرحيم

Tumbuh-Kembang Tafsir & Variatifnya Sejak Zaman Rasulullah SAW Hingga Saat Ini

Oleh : Ahmad Althof

A. Kitab-kitab tafsir bilma’tsur menurut pandangan para Ahli Sunnah

1. Tafsir Muqotil bin Sulaiman

Muqotil bin Sulaiman al Balkhi al Khurosani Abu Hasan dikenal dengan tafsir nya, dan telah mengambil hadist dari para Tabiin seperti: Mujahid bin Jabr, Atho’ bin Ribah, dan Dhohhak bin Muzahim, dan Athiyah bin Said al Aufi. Akan tetapi alHarbi membantah bahwasanya muqotil belum pernah mendengar dari Mujahid maupun Dhohak, dengan alasan bahwa Dhohak telah meninggal sebelum Muqotil dilahirkan.

Muqotil juga banyak mengarang kitab, diantaranya : 1. Attafsir al Kabir, 2. anNasikh wal Mansukh, 3. Tafsir 500 ayat, 4. Kitab Qiroat, 5. Kitab Mutasyabih Alquran, 6. Kitab Nawadir Tafsir, 7. Alwujuh wa Nadoir fil Quran, 8. Kitab Jawabat fil Quran, 9. Arrod ‘ala Qodariah, 10. Taqdim wa Ta’khir, 11. Al Aqsam wa Lughot, 12. Al Ayat al mutasyabihat.

Meskipun demikian Para ulama banyak yg menjarh Muqotil bin Sulaiman, “Dajjal Jasuur” itulah yang dikatakan Ibrohim bin Ya’qub tentangnya.

Pada intinya Muqotil adalah termasuk dari lima punggawa terbesar dalam dakhil di tafsir, ilmunya lebih banyak madlorotnya daripada manfaatnya, jeleknya lebih banyak daripada baiknya, dan banyak mengandung isroiliyat, dan juga khurofat. Adzahabi dalam kitab tafsir wa mufassirunnya berpendapat bahwa: “pada zaman Muqotil adalah zamanul isnad, akan tetapi pada tafsir Muqotil tidak didapatkan kecuali sedikit”.

2. Tafsir Abdur Rozaq Asson’ani

Abdul Rozzaq bin Hammam bin Nafi’ Abu Bakr al Yamanii Asson’ani.Meriwayatkan hadits dari: ayahnya, pamannya Wahab, Ma’mar bin Rosyid, Aiman bin Nabil, Ikrmah bin Ammar, Abdul Malik bin Juraij, Alauza’I, Sufyan Atsauri, Sufyan bin Uyainah, Ja’far bin Sulaiman, Malik bin Anas, Isroil bin Yunus, Ismail bin Iyyas, dan lainnya.

Diriwayatkan darinya: Sufyan bin Uyainah, Mu’tamar bin Sulaiman, Wakii’, Ahmad bin Azhar, Muhammadd bin Yahya, Ahmad bin Hanbal, Amru annaqid, Yahya bin Muayyan, Ali bin Almadani, Sulaiman bin Daud, Muammal bin Ihab, dan lainnya.

Dialah hafid, yang mempunyai ilmu yang luas, Ali bin Madani berkata: “Hisyam bin Yusuf mengatakan bahwa bahwa Abdul Rozzaq adalah yang teralim dan hafid diantara kita”.

Dalam tafsirnya, beliau mengurutkan sebagaimana urutan surat dalam mushaf alquran, yang didalamnya ada 3.755 nash yang bersanad yang diriwayatkan oleh Abdul Rozzaq baik yang marfu’ kepada Rasulullah SAW, ataupun mauquf kepada Sahabat atau maqthu’ kepada tabiin.

Dalam tafsirnya dijelaskan kalimat-kalimat yang asing dalam alquran, beserta penjelasan tentang keistimewaan surat atau ayat dalm Alquran, dan juga disertakan didalamnya masalah-masalah fiqh, juga siroh para Nabi dan Rosul.

3.      Tafsir Ibnu Abi Hatim

Abdurrahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris  Attamimi Alhandoli, Abu Muhammad Arrozi. Meriwayatkan dari: Ayahnya, Yunus bin Abdil A’la, Hasan bin ‘irfah, Abi Said alAsyaj, Abi Zar’ah, Rabi bin Sulaiman, Hajjaj bin Syair, Ahmad bin Sinan, dan para Ulama lainnya dari negeri Hijaz, Syam, Mesir, Irak, dan Jazirah.

Diriwayatkan darinya: Abu Syaikh, Ali bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad, Ibnu ‘adi, Abu Ahmad al Hakim, dan yang lainnya.

Pada tafsir ini belum sampai kepada kita secara keseluruhan akan tetapi telah dikumpulkan beberapa yang asli dan jg diambil dari kumpulan-kumpulan yg dinukil dalam kitab-kitab tafsir lainnya, seperti pada tafsir Ibnukatsir dan Addur Almantsur.

Termasuk tafsir al mitsali dalam tafsir bil ma’tsur, dan detail nya sebagai manhaj dalam tafsirnya ada beberapa poin yang bisa di simpulkan dalam tafsirnya:

1.      Mengumpulkan apa yang dianggap shahih dari Sunnah, dan atasr Para Sahabat dan Tabiin.

2.      Kalau terdapat riwayat langsung dari Rasulullah SAW, tanpa perlu mengambil Atsar para Sahabat ataupu Tabiin.

3.      Kalau tidak didapat riwayat langsung dari Rasulullah, maka dipilih yang paling sohih dari Atsar para Sahabat.

4.      Dan kalau tidak terdapat dalam keduanya baik dari Rasul maupun  Sahabat maka diambil yang tershahih dari para Tabiin.

 

B. Kitab-kitab tafsir birro’yi menurut pandangan para Ahli Sunnah

1. Tafsir Ibnu Abi Zamanin

Muhammad bin Abdillah bin Isa bin Muhammad al murri, Abu Abdillah al Andalusi, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanin. Meriwayatkan darinya: Muhammad bin Muawiyah al Umawi, Ahmad bin Mutrif, Ahmad bin Syamah, Aban bin Isa bin Muhammad, dan lainnya.

Dirwayatkan darinya: Abu Amru ad Dani, Abu Umar bin Hidai, Hisyam bin Suwar, Qodli Yunus, dan lainnya. Beliau dilahirkan pada 324H, faqih pada zamannya, di negaranya bahkan di Negara lain, termasuk ulama yg memiliki jiwa seni dalam bersyair, dan memberikan mauidoh, dialah ulama yang menjunjung  tinggi sikap wala’ dan baro’ terutama dalam kepemerintahan. Termasuk karangan beliau  adalah: Muntakhob Ahkam, Wastaiq, Hayat Qulub, Adabul Islam dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada rabiul akhir 399H.

Pada tafsir ini Ibnu Abi Zamanin meringkas dari tafsirnya Imam yahya bin Salam, alasan beliau meringkas adalah ketika membaca tafsir Imam Yahya bin Salam banyak di dapat pengulangan dan hadist-hadist yang tidak perlu dicantumkan, serta pada zamannya banyak para murid nya yang menjadi malas dan kurang bergairah ketika membacanya.

Penuh dengan ilmu bahasa Arab didalamnya terutama I’rob dalam “jumlah” maupun “kalimat” begitulah yang akan terlintas bagi setiap pembacanya, jika didalm tafsir Imam Yahya bin Salam disebut di awal kalimat nya “Yahya berkata” maka dalam tafsir Abi zamanin juga disebutkan “Muhammad (Abi Zamanin) berkata”. Dalam tafsirnya Abi Zamanin memaparkan dalam tafsirnya nama-nama surat, apakah ia “makki” atau “madani”, dan juga “asbabun nuzul”, dan beberapa kisah-kisah yang menyangkut dalam ayat tersebut.

2.      Attahshil li Fawaid Kitab Attafshil al Jami’ li Ulumil Tanzil

Dialah Abbas Ahmad bin Ammar bin Abil Abbas al Mahdawi, dilahirkan di kota Mahdiah di Negara Qoiruwan, beliau berguru pada Muhammad bin Sufyan, dan kepada kakeknya Mahdi bin Ibrohim, dan kepada Abil Hasan Ahmad bin Muhammad al Qontori di Mekkah.

Tafsir ini belum sempat dibukukan masih berupa nuskhah-nuskhah yang berada di berbagai tempat, diantaranya pada Darul Kutub al Mashriah, sebagian lainnya terdapat di Berlin, Jerman. Doctor Ahmad Qursyi telah memberikan tahqiq pada tafsir ini, itu dilakukan ketika beliau mendapatkan gelar doktornya di kuliah Usuludin Universitas al Azhar.

Dalam muqoddimahnya al Mahdawi menjelaskan manhaj pentafsiran beliau dalam mengumpulkan “Ahkam Mujmalah”, “Ayat al Mansukhoh”, “Ahkam al Muhmalah”, “Qiroat yang di Pakai (yang mutawatir)”, dan “Tafsir”, dan “Ghorib”, dan “Musykil”, dan”I’rob”, dan lain sebagainya yang berkenaan dengan pentafsiran bi Ro’yi.

3. Tafsir as Sam’ani

Mansur bin Muhammad bin Abdul Jabbar bin Ahmad at Tamimi as Sam’ani, Abu Mudofir al Marwazi, dilahirkan pada tahun 426H. mriwayatkan dari: Ayahnya, dan Abu Bakar Muhammad bin Abdus Somad at Turobi, dan Abu Ghonim Ahmad bin Ali al Kira’I, dan di Baghdad oleh Abdus Somad bin Ma’mun, dan di Naisbur oleh Abi Sholih Muadzin, dan di Mekkah oleh Abu Qosim Saad bin Ali az Zanjani, dan lainnya.

Kitab ini di bukukan di Riyadh di Darul Kutub al Ilmiah dalam enam jilid. Sebagaimana al Mahdawi as Sam’ani juga menjabarkan dalam tafsirnya antara yang “Makki” maupun yang “Madani”, dan nama-nama surat, keistimewaannya yang disebutkan dalam Hadist Nabawi yang mayoritas hadist tersebut adalah sohih. Selain itu as Sam’ani juga menyebutkan “Asbabun Nuzul” baik surat maupun ayat, dan mentafsirkan alquran dengan sunnah dan astar para Sahabat dan Tabiin, selain itu juga membeberkan qiroat baik yang mutawatir maupun yang tidak dengan menyebutkan  nisbah kepada qori’, dan juga menyantumkan “waqof wal Ibtida”,lebih dari itu pada tafsirnya, beliau banyak membantah pendapat-pendapat “mu’tazilah, al Qodariah, dan Murjiah”.

4. Tafsir “an Nukat wal ‘Uyun”

Ali bin Muhammad bin Habib, Abul Hasan as Syafii,al mawardi, yang terkenal dengan julukannya “Hakim yang paling adil( ( أقضى القضاة”, lahir pada tahun 364H. telah meriwayatkan dari: Hasan bin Ali al Jabali, Muhammad bin Adi al Munqiri, Muhammad bin Maalli al Azdi, Ja’far bin Muhammad bin fadl al Baghdadi.

Tafsir alQuran yang lengkap dari al Fatihahnya sampai an Nas, tafsir ini sempat di cetak berkali-kali, tafsir yang memiliki enam jilid ini dicetak di maktabah Darul kutub al Ilmiah (1412H). Pada tafsir ini al Mawardi banyak menngambil dari mashodir yang berbeda-beda, adapun dari kitab tafsir sendiri beliau mengambil dari tafsirnya Ibnu Jarir at Thobari, dan kitab lughoh nya banyak menukil pendapat ulama lughoh seperti: Kisa’I, Firro’, Akhfasy, Tsa’lab, Mubrod, Zujaj, dan lainnya dari ulama lughoh.

Seperti dalam kitab tafsir lainnya al Mawardi juga menjelaskan “Makki” dan “Madani” serta nama surat, juga tafsir quran dengan quran,quran dengan sunnah, dan bacaan qiroat yang berbeda, asbabun nuzul,dan tidak ketinggalan masalah tentang fiqih.

5. Zadul Masir fi Ilmi Tafsir

Pengarang tafsir ini adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali al Qursy at Taimi, Abul Farj al Baghdadi, al Hanbali, dikenal dengan Ibnul Jauzi dan deberi julukan “Jamaluddin”. Dilahirkan di Baghdad pada tahun 510H. Telah mengarang kitab dalam bidang diantaranya ilmu fiqih : al Inshof fil masail khilaf, umdatul dalail fi masyhuri masail, masbuku addahab. Dan jg dalam ilmu hadist : Jamiul masanid, al Hadaiq, Ghoribul hadist, al Maudluat. Dalam bidang nasehat beliau mengarang kitab : at Tabshiroh, al Mudhisy, Bahru dumu’, al Yaqutah. Dan kitab tafsir nya yang sekarang sedang kita kaji “Zadul Masir Fi Ilmi Tafsir”.

Sebab utama beliau mengarang tafsir ini adalah dikarenakan alquran adalah kitab yang mulia dan banyak ilmu yang dikandung didalamnya, juga ketika beliau membaca kitab-kitab tafsir lainnya didapatkan banyak kekurangan di dalamnya, baik yang terlalu simple, maupun ada yang terlalu melebar pembahasannya, ada juga yang sedang-sedang saja akan tetapi belum memenuhi criteria yang tepat.

Ibnul Jauzi dalam tafsir nya ini beliau mengumpulkan aqwal para Salaf dan Kholaf, serta menyusun dengan rapi dalam tafsirnya, memberikan semua qoul para Ulama dan memisahkannya serta menisbahkan setiap qoul kepada qoil nya. Serta dengan menjaga tatanan bahasa arab dan qiroat yang benar dengan tidak terlalu menjerumus kepada imu Kalam.

6. Tafsir Ibnu Irfah

Pada kali ini pengarang adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Irfah, Abu Abdillah al Warghomi at Tunisi, seorang faqih madzhab maliki di Tunisia, khotib di masjid Agung azZaitunah, dikenal dengan sebutan Ibnu Irfah. Mengambil riwayat dari: ayahnya, Muhammad al wadi Asyi, Muhammad bin Harun al Kinani, Syarif at Tilmisani, Muhammad bin al Jabbab, dan lainnya.

Beliau juga mengarang kitab Mukhtasor Kabir fi Fiqh, al Mukhtasor assyamil fi Tauhid, al Mabsuth fil Fiqh, al hudud fi Taarif al Fiqhiah, at thuruq al wadihah fi Amali Munashohah, dan yang terkenal adalah kitab tafsirnya “Tafsir Ibnu Irfah”. Beliau wafat di Tunisia pada tahun 803H.

Bisa dikatakan bahwa Tafsir Ibnu Irfah adalah sebuah majlis ilmu yang dimana para murid beliau menyimak apa yang disampaikan oleh gurunya, dan apabila telah menghatamkan tafsirnya maka dimulai lagi hataman berikutnya, sehingga tidak sedikit murid beliau yang meriwayatkannya, diantara yang masyhur dari murid beliau adalah:

1.      Riwayat al Basili, dialah Ahmad bin Muhammad Abul Abbas at Tunisi.

2.      Riwayat al Abi, oleh Muhammad bin Khilfah al Wastati yang terlengkap dalam riwayatnya.

3.      Riwayat Abil Qosim Assyrif al Idrisi as Salawi, ulama pada abad ke Sembilan.

Demikianlah para murid beliau dalam mengamalkan ilmunya, didalam tafsir Ibnu Irfah disebutkan didalamnya munasabah ayat maupun surat, serta antara “makki” maupun “madani” dan juga nama-nama suratnya, pada tafsirnya Ibnu Irfah menggunakan Aqidah Asy’ari, dan banyak sekali ditemukan bantahan-bantahan terhadap mu’tazilah dalam hal ini.

Selain menggunakan tafsir quran dengan quran Ibnu Irfah juga memakai sunnah dan aqwal para Sahabat serta para Tabiin dalam mentafsirkan ayat maupun surat. Disebutkan juga asbabun nuzul suatu ayat, dan keistimewaan surat dan ayat, selain itu pengetahuan beliau dalam siroh cukup luas, dan sangat sedikit bahkan bisa dikatakan jarang dalam tafsirnya memasukkan isroiliyat, ilmu Qiroat yang mumpuni sehingga mampu memaprkan aujuh Qiroat dalam tafsirnya, tidak kalah pemahaman fiqih beliau dalam menyikapi suatu hukum dan beserta usul fiqihnya, dan pada akhir nya beliau sering menyinggung tentang ayat-ayat kauniah dalam tafsirnya.

kami ucapkan Jazakallah Khoirul Jaza’ pada para ulama yang telah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya, semoga kami dapat menteladani serta mengamalkannya dengan baik.

Wallahua’lam bishowab.

Categories: kajian sabi'